Sistematika Hukum Perdata

A.   PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Hukum perdata ialah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga. Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu hukum perdata material dan hukum perdata formal. Hukum perdata material mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formal mengatur bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain. Dalam pembahasan hukum perdata ini yang menjadi subjek dari hukum itu adalah orang yang melakukan tindakan hukum tersebut.


B.   SEJARAH KUH PERDATA (BW)
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang dikenal dengan istilah Bugerlijk Wetboek (BW) adalah kodifikasi hukum perdata yang disusun di negeri Belanda. Penyusunan tersebut sangat dipengaruhi oleh Hukum Perdata Prancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna.
KUH Perdata (BW) berhasil disusun oleh sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. J.M. Kemper dan sebagian besar bersumber dari Code Napoleon dan bagian yang lain serta kodifisikasi KUH Perdata selesai pada 5 Juli 1830, namun diberlakukan di negeri Belanda pada 1 Oktober 1838. pada tahun itu diberlakukan juga KUH Dagang (WVK).
Kodifikasi KUH Perdata Indonesia diumumkan pada 30 April 1847 melalui Statsblad No. 23, dan mulai berlaku pada 1 Januari 1848. kiranya perlu dicatat bahwa dalam menghasilkan kodifikasi KUH Perdata Indonesia ini Scholten dan kawan-kawannya berkonsultasi dengan J. Van de Vinne, Directueur Lands Middelen en Nomein. Oleh karenanya, ia juga turut berhasa dalam kodifikasi tersebut.
Adanya kitab undang-undang hukum dagang (WVK) di samping kitab undang-undang hukum perdata (BW) sekarang tidak pada tempatnya, karena hukum dagang sebenarnya dalah hukum perdata. Oleh karena itu sekarang ini ada suatu aliran untuk meleburkan kitab undang-undang hukum dagang kedalam kitab undang-undang hukum perdata.

C.   SISTEMATIKA HUKUM PERDATA DALAM KUH PERDATA (BW)
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia terdiri dari 4 buku sebagai berikut :
1.      Buku I, yang berjudul ”perihal orang” (van persoonen), memuat hukum perorangan dan hukum kekeluargaan.
2.      Buku II, yang berjudul ”perihal benda” (van zaken), memuat hukum benda dan hukum waris.
3.      Buku III, yang berjudul ”perihal perikatan” (van verbintennisen), memuat hukum harta kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
4.      Buku IV, yang berjudul ”perihal pembuktian dan kadaluarsa” (van bewijs en verjaring), memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.

D.   SISTEMATIKA HUKUM PERDATA MENURUT ILMU PENGETAHUAN
Hukum perdata menurut ilmu hukum sekarang ini, dibag kedalam empat bagian, yaitu ;
1. hukum tentang diri seseorang, hukum perorangan.
2. hukum kekeuargaan
3. hukum kekayaan
4. hukum waris
1.      Hukum tentang orang atau Hukum Perorangan (persoonenrecht)
Dalam hukum, perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak dan kewajiban (subyek) di dalam hukum. Dimaksud dengan orang atau subyek hukum, dapat diartikan sebagai manusia (naturlijkpersoon) atau badan hukum (rechtspersoon).
Disini hokum tentang orang atau hokum perorangan, memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subjek dari hokum,peraturan-peraturan prihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan
a)      Manusia (naturlijkpersoon) sebagai subyek hukum:
Pada saat sekarang ini setiap manusia manusia dapat dikatakan sebagai pembawa hak dan kewajiban, oleh karena berbudakan telah tidak dilakukan lagi dalam peradaban sekarang ini. Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak adalah dimulai sejak ia dilahirkan dan berahir pada saat ia meninggal. Malah jika perlu, anak di dalam kandungan dapat dianggap telah ada asal saja kemudian ia dilahirkan hidup.
Kecakapan bertindak dalam hukum:
Meskipun menurut hukum setiap orang tiada yang dikecualikan memiliki hak dan kewajiban, namun tidak setiap orang dapat bertindak sendiri dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Oleh hukum, ada beberapa golongan orang yang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum atau melaksanakan hak dan kewajibannya. Mereka ini adalah orang-orang yang belum dewasa (belum cukup umur) dan orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele), dan kepadanya harus selalu diwakili oleh orang tua/walinya (bagi yang belum dewasa) dan oleh kuratornya (bagi yang ditaruh di bawah pengampuan.
Kekuasaan orang tua dan perwalian:
Menurut BW, di bawah umur apabila belum mencapai usia 21 tahun, kecuali ia sudah kawin. Orang yang masih dibawah umur ini ada dibawah kekuasaan orang tuanya. Selanjutnya apabila salah seorang dari orang tuanya meninggal dunia maka ia berada dalam perwalian orang tuanya yang masih hidup. Demikian pula bila orang tuanya bercerai maka ia akan berada dalam perwalian salah seorang orang tuanya. Bila kedua orang tuanya meninggal maka ia ada dalam perwalian orang lain.
b)     Badan Hukum (rechtspersoon):
Di samping orang-orang (manusia), badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan dapat juga memiliki kekayaan sendiri dan ikut serta dalam lalu-lintas hukum, yaitu juga memiliki hak dan kewajiban serta dapat digugat ataupun menggugat di depan Hakim. Badan atau perkumpulan ini dinamakan “badan hukum” atau rechtspersoon, misalnya Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, Koperasi dan sebagainya.
Ciri – ciri Badan Hukum
·         Kekayaan terpisah
·         Organisasi teratur
·         Ada tujuan tertentu
·         Ada pengurus
Pembagian badan hukum menurut :
·         Sifat :
o   Mengejar keuntungan ekonomi : Koperasi dan PT
o   Bersifat ideal : Yayasan dan partai politik
·         Pendiriannya :
o   Berdasarkan UU : Lembaga Negara dan Perusahaan Umum
o   Diakui pemerintah berdasarkan UU melalui proses pendaftaran : PT (UU No. 1/1995 digantikan dengan UU No. 40/2007), Koperasi (UU No.26/1992), Yayasan (UU No.16/ 2001)
Ciri Badan Hukum :
·         Ada harta kekayaan
·         Ada tujuan tertentu
·         Ada kepentingan
·         Ada organisasi teratur
Syarat sahnya badan hukum adalah :
·         Akte pendirian di depan Notaris
·         Disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM
·         Didaftarkan (Dept. Perindustrian dan Perdaganga)
·         Diumumkan di berita negara
Teori Badan Hukum
·         Teori Fiksi ( Karl von Savigny)
·         Badan hukum pengaturannya oleh negara. Oleh karena itu badan hukum sebenarnya tidak ada. Badan hukum adalah orang buatan hokum
·         Teori Kekayaan / Harta (Holder dan Binder)

Badan hukum adalah suatu badan yang mempunyai harta dan berdiri sendiri yang tidak dimiliki oleh badan hukum itu tetapi oleh pengurusnya diserahi tugas untuk mengurus Teori Organ. Badan hukum bukan merupakan suatu fiksi melainkan makhluk yang sungguh – sungguh ada dan mempunyai organ – organ yang dapat berpikir dan bertindak sebagai subjek hukum

Domicili:
Setiap orang menurut hukum harus mempunyai tempat tinggal yang dapat dicari. Tempat tersebut dinamakan domicili. Demikian pula halnya dengan Badan Hukum harus mempunyai tempat kedudukan. Bagi orang yang tidak mempunyai tempat kediaman tertentu, domisilinya dianggap ada di tempat di mana ia sungguh-sungguh berada. Pentingnya domisili atau tempat kedudukan ini adalah untuk menetapkan beberapa hal, misalnya: di mana seorang harus dipanggil, Pengadilan mana yang memiliki kompetensi terhadap dirinya, dan sebagainya.

2.      Hukum kekeluargaan atau hukum keluarga (familierecht):
Hukum keluarga memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum yang timbul karena hubungan keluarga / kekeluargaan seperti perkawinan, perceraian, hubungan orang tua dan anak-anak, perwakilan, curalek, dan sebagainya.
a)      Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan demikian pasal 26 B.W.
Syarat-syarat untuk dapat sahnya perkawinan, ialah :
1.      kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang yaitu untuk seorang lelaki18 tahun dan untuk seorang perempuan15 tahun;
2.      harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak;
3.      untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin harus lewat 300 hari dahulu sesudahnya putusan perkawinan pertama;
4.      tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua pihak;
5.      untuk pihak yang masih si bawah umur, harus ada izin dari orang tua atau walinya

Sebelum perkawinan dilangsungkan harus dilakukan terlebih dahulu :
1.      pemberitahuan tentang kehendak akan kawin kepala Pegawai Pencatatan Sipil yaitu pegawai yang nantinya akan melangsungkan pernikahan.
2.      Pengumuman oleh pegawai tersebut tentang akan dilangsungkan pernikahan itu.

Surat-surat yang harus diserahkan kepada Pegawai pencatatan Sipil agar dapat
melangsungkan pernikahan ialah :
1.      surat kelahiran masing-masing pihak
2.      surat pernyataan dari Pegawai Pencatatan Sipil tentang izin orang tua, izin mana juga dapat diberikan dalam surat perjanjian sendiri yang akan dibuat itu
3.      proses verbal dari mana ternyata perantaraan ini dibutuhkan
4.      surat kematian suami atau istri atau putusan perceraian perkawinan lama
5.      surat keterangan dari Pegawai Pencatatan Sipil yang menyatakan telah dilangsungkan pengumuman dengan tiada perlawanan dari sesuatu pihak
6.      dispensasi dari presiden (Menteri Kehakiman) dalam hal ada suatu larangan untuk kawin.
Pada asasnya suatu perkawinan harus dibuktikan dengan surat perkawinan. Hanya apabila daftar-daftar pencatatan sipil telah hilang diserahkan kepada hakim untuk menerima pembuktian secara lain asal saja menurut keadaan yang nampak keluar dua orang lelaki perempuan sapat dipandang sebagai suami istri atau menurut perkataan undang-undang : asal ada suatu ´bezit van den huwelijken staat´

b)     Kekuasaan Orang Tua (ouderlijke macht: KUHS pasal 198 dan seterusnya)
Seorang anak wajib menghormati orang tuanya. Orang tua pun wajib menjaga anak-anaknya yang belum cukup dewasa. Orang tua mempunyai kewajiban alimentasi, yaitu kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum cukup umur dan sebaliknya anak yang telah dewasa wajib memelihara orang tuanya dan keluarganya menurut garis lurus ke atas yang dalam keadaan tidak mampu.
Seorang anak dikatakan belum cukup dewasa apabila ia belum berumur 21 tahun atau belum menikah. Seorang anak yang belum genap 21 tahun atau belum menikah di anggap belum cukup cakap dalam bertindak oleh undang-undang sehingga sang anak berada dalam kekuasaan orang tua. Tetapi bagi seorang anak yang berusia 20 tahun dapat mengajukan permintaan pernyataan dewasa (venia aetatis=handlichting) kepada Menteri Kehakiman.
Kekuasaan dimiliki oleh kedua orang tua bersama tetapi lazimnya dilakukan oleh sang ayah. Apabila sang ayah tidak mampu melakukannya, misalnya karena sakit keras, sakit ingatan, sedang bepergian tanpa ada ketentuan nasibnya, atau sedang berada dalam pengawasan (curatele), kekuasaan itu dillakukan oleh sang istri.
Kekuasaan orang tua tidak hanya meliputi diri si anak tetapi juga meliputi benda atau kekayaan si anak. Dalam hal ini dibatasi oleh undang-undang, yaitu mengenai benda-benda yang tak bergerak, surat-surat sero (effecten) dan surat-surat penagihan yang tidak boleh dijual sebelum mendapat ijin dari hakim. Orang tua berhak menikmati hasil atau bunga dari benda atau kekayaan si anak kecuali kekayaan yang diperoleh si anak sendiri dari pekerjaannya. Selain itu, orang tua wajib menjaga dan memelihara benda itu sebaik mungkin.
Kekuasaan orang tua dapat berhenti apabila:
·         Anak tersebut sudah berusia 21 tahun atau telah menikah
·         Putusnya hubungan pernikahan kedua orang tua.
·         Kekuasaan orang tua dipecat oleh hakim (misalnya karena pendidikannya sangat buruk, tidak cakap atau tidak mampu untuk melakukan kewajiban sebagai orang tua,orang tua berkelakuan buruk, dll)
·         Pembebasan dari kekuasaan orang tua (misalnya karena kelakuan si anak sangat nakal sehingga orang tuanya tidak berdaya lagi)
Peraturan mengenai hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak, kekuasaan orang tua terhadap anak dan hartanya, pemecatan dan pembebasan kekuasaan, semuanya di atur dalam peraturan tentang kekuasaan orang tua.

c)      Perwalian (Voogdij: KUHS pasal 331 dan seterusnya)
Perwalian (Voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatas oleh undang-undang.
Anak yang berada dibawah perwalian adalah:
·         anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannnya sebagai orang tua;
·         anak sah yang orang tuanya telah bercerai;
·         anak yang lahir di luar perkawinan (natuurlijk kind) 
Menurut undang-undang, jika salah satu orang tua meninggal dunia, maka yang akan menjadi wali adalah orang tua yang lainnya. Perwalian ini disebut sebagai perwalian menurut undang-undang (wettelijke voogdij).
Jika seorang anak tidak berada dibawah kekuasaan orang tua dan tidak mempunyai wali, maka wali dapat ditetapkan oleh hakim. Wali tersebut dapat ditunjuk berdasarkan surat wasiat dari orang tua anak tersebut sebelum meninggal atau dapat juga wali di angkat dari orang yang punya ikatan darah terdekat dengan si anak. Hakim juga dapat menetapkan seseorang atau perkumpulan sebagai wali.
Seseorang yang diangkat oleh hakim untuk menjadi wali harus menerima pengangkatan itu, kecuali:
·         Jika ia seorang istri yang menikah lagi atau jika ia mempunyai alasan menurut undang-undang untuk minta dibebaskan dari pengangkatan itu;
·         Jika ia berada di luar negeri untuk kepentingan negara;
·         Jika ia seorang anggota tentara dalam dinas aktif;
·         Jika ia sudah berusia 60 tahun;
·         Jika ia sudah menjadi wali untuk anak lain atau jika ia sudah mempunyai lima orang anak sah atau lebih
Seorang wali wajib mengurus kekayaan anak yang berada dibawah kekuasaannya dengan sebaik mungkin dan ia bertanggung jawab terhadap kerugian-kerugian yang ditimbulkan karena pengawasan yang buruk.
Apabila tugasnya telah berakhir, seorang wali wajib memberikan suatu penutupan pertanggungan jawab. Pertanggungjawaban ini dilakukan apabila si anak telah menjadi dewasa atau pada warisnya jika anak itu telah meninggal.
Hakim mengangkat seorang wali beserta wali pengawas yang bertugas untuk mengawasi pekerjaan wali tersebut. Wali pengawas di Indonesia dijalankan oleh pejabat Balai Harta Peninggalan (Weeskamer).

d)     Pengampuan (Curatele, KUHS pasal 433 dan seterusnya)
Orang yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele) adalah orang yang sudah dewasa tetapi:
·         Menderita sakit ingatan
·         Pemboros (mengobralkan kekayaannya)
·         Lemah daya
·         Tidak sanggup mengurus kepentingan sendiri dengan semestinya, disebabkan kelakuan buruk diluar batas atau menggangu keamanan
Orang yang berada dibawah pengampuan disebut kurandus, sedangkan orang yang menjadi pengampu disebut sebagai kurator. Seorang suami atau istri dapat menjadi pengampu bagi pasangannya. Hakim juga dapat mengangkat orang lain atau suatu perkumpulan untuk menjadi kurator dan yang menjadi pengampu pengawas adalah Balai Harta Peninggalan. Permintaan untuk menaruh seseorang dibawah curatele harus diajukan kepada Pengadilan Negeri dengan menguraikan peristiwa-peristiwa yang menguatkan persangkaan tentang adanya alasan-alasan untuk menaruh orang tersebut dibawah pengawasan, dengan disertai bukti-bukti dan saksi-saksi yang dapat diperiksa oleh hakim. Putusan pengadilan yang menyatakan bahwa orang itu ditaruh dibawah curatele harus diumumkan dalam Berita Negara.
Kedudukan seseorang yang ditaruh dibawah curatele sama seperti orang yang belum dewasa, ia tidak dapat melakukan perbuatan hukum secara sah. Tetapi orang yang berada dibawah curatele dengan alasan mengobralkan kekayaannya, menurut undang-undang masih dapat membuat testamen (surat wasiat) dan masih dapat melakukan perkawinan serta membuat perjanjian perkawinan meskipun ia harus mendapat ijin dari kurator dan Weeskamer.
Ada perrsamaan dan perbedaan antara kekuasaan orang tua, perwalian, dan pengampuan. Persamaannya adalah kesemuanya mengawasi dan menyelenggarakan hubungan hukum orang-orang yang dinyatakan tidak cakap bertindak. Sedangkan perbedaannya adalah pada kekuasaan orang tua, kekuasaan asli dilaksanakan oleh orang tua sendiri yang masih berada dalam ikatan perkawinan; pada perwalian, pemeliharaan dan bimbingan dilaksanakan oleh wali, dapat salah satu orang tuanya yang tidak dalam ikatan perkawinan lagi atau orang lain terhadap anak-anak yang belum dewasa; sedangkan pengampuan dilakukan oleh kurator (keluarga sedarah atau orang yang ditunjuk) terhadap orang dewasa yang karena suatu sebab dinyatakan tidak cakap bertindak dalam lalu lintas hukum.

3.      Hukum Harta Kekayaan
Hak perdata itu dibagi dua, yaitu:
  1. Hak mutlak/absolute terdiri atas:
·         Hak kepribadian misalnya: hak atas namanya, kehormatannya, hidup, kemerdekaan.
·         Hak yang terletak dalam hukum keluarga yaitu hak yang timbul karena adanya hubungan antara suami istri, hubungan antara orang tua dan anak.
·         Hak mutlak atas sesuatu benda yang biasa disebut dengan hak kebendaan
  1. Hak relatif/hak nisbi/hak persoonjilk yaitu suatu hak yang memberikan suatu tuntutan/penagihan terhadap seseorang danhak itu hanya dapat dipertahankan terhadap orang tertentu saja.
Hak kebendaan adalah hak mutlak atas sesuatu benda di mana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas benda tersebut dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.
Perbedaannya adalah:
·         Hak mutlak dapat dipertahankan terhadap siapapun juga yang melanggarnya.
·         Hak perorangan hanya dipertahankan terhadap orang tertentu saja.
·         Hak kebendaan memberikan kekuasaan mutlak atas sesuatu benda
·         Hak perorangan memberikan suatu tuntutan/penagihan terhadap seseorang.
·         Hak kebendaan mempunyai zaaksgevolg/droit de suit, yaitu hak kebendaan tersebut selalu mengikuti terus di manapun benda itu berada atau di tangan siapapun benda itu berada.
Hak perorangan tidak mempunyai droit de suit karena hak tersebut hanya dapat dilakukan terhadap seorang tertentu saja. Dengan adanya pemindahan barang tersebut maka hak perorangan lenyap karena hak penagihan lenyap.
Tapi dalam praktik pembedaan tersebut sangat sumier tidak mutlak lagi karena adahak perorangan yang mempunyai sifat yang mutlak/absolute mempunyai droit de suit dan mempunyai sifat prioritas yaitu:
  • Hak penyewa dilindungi berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, ia dapat mempertahankan barang yang disewa terhadapnya setiap gangguan dari pihak ketiga (adanya sifat absolute).
  • Hak sewa senantiasa mengikuti bendanya walaupun barang yang disewanya senantiasa berpindah tangan/dijual oleh pemiliknya/adanya sifat droit de suit.
  • Pembeli/penyewa yang lebih dahulu mempunyai sifat prioritas/lebih didahulukan daripada pembeli/penyewa yang kemudian.
Tapi walaupun demikian sebagai pedoman dapat disimpulkan bahwa hak kebendaan tersebut mempunyai cirri-ciri/sifat-sifat secara umum apabila kita ingin membedakan dengan hak perorangan.

4.      Hukum waris
Hukum waris memuat peraturan- peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia. Dengan katalain hukum waris adalah hukum yang mengatur peralihan benda dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.
Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian harta warisan seperti rumah atau tanah tidak dilakukan dengan adil. Untuk menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan adil. Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang (KUH Perdata).
Banyak permasalahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli waris merasa tidak menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan antara masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam membagi harta warisan.
Berhak Mendapatkan Warisan
Ada dua jalur untuk mendapatkan warisan secara adil, yaitu melalui pewarisan absentantio dan pewarisan testamentair. Pewarisan absentantio merupakan warisan yang didapatkan didapatkan berdasarkan Undang-undang. Dalam hal ini sanak keluarga pewaris (almarhum yang meninggalkan warisan) adalah pihak yang berhak menerima warisan.
Mereka yang berhak menerima dibagi menjadi empat golongan, yaitu anak, istri atau suami, adik atau kakak, dan kakek atau nenek. Pada dasarnya, keempatnya adalah saudara terdekat dari pewaris (Lihat Boks 4 golongan pembagian waris).
Sedangkan pewarisan secara testamentair/wasiat merupakan penunjukan ahli waris berdasarkan surat wasiat. Dalam jalur ini, pemberi waris akan membuat surat yang berisi pernyataan tentang apa yang akan dikehendakinya setelah pemberi waris meninggal nanti. Ini semua termasuk persentase berapa harta yang akan diterima oleh setiap ahli waris.

Tidak Berhak Menerimanya
Meskipun seseorang sebenarnya berhak mendapatkan warisan baik secara absentantio atau testamentair tetapi di dalam KUH Perdata telah ditentukan beberapa hal yang menyebabkan seorang ahli waris dianggap tidak patut menerima warisan.
Kategori pertama adalah orang yang dengan putusan hakim telah telah dinyatakan bersalah dan dihukum karena membunuh atau telah mencoba membunuh pewaris. Kedua adalah orang yang menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat atau dengan memakai kekerasan telah menghalang-halangi pewaris untuk membuat surat wasiat menurut kehendaknya sendiri. Ketiga adalah orang yang karena putusan hakim telah terbukti memfitnah orang yang meninggal dunia dan berbuat kejahatan sehingga diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih. Dan keempat, orang yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat dari pewaris.
Dengan dianggap tidak patut oleh Undang-Undang bila warisan sudah diterimanya maka ahli waris terkait wajib mengembalikan seluruh hasil dan pendapatan yang telah dinikmatinya sejak ia menerima warisan.

Pengurusan Harta Warisan
Masalah warisan biasanya mulai timbul pada saat pembagian dan pengurusan harta warisan. Sebagai contoh, ada ahli waris yang tidak berbesar hati untuk menerima bagian yang seharusnya diterima atau dengan kata lain ingin mendapatkan bagian yang lebih. Guna menghindari hal tersebut, ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan oleh Anda yang kebetulan akan mengurus harta warisan, khususnya untuk harta warisan berupa benda tidak bergerak (tanah dan bangunan).
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat Surat Keterangan Kematian di Kelurahan/Kecamatan setempat. Setelah itu membuat Surat Keterangan Waris di Pengadilan Negeri setempat atau Fatwa Waris di Pengadilan Agama setempat, atau berdasarkan Peraturan Daerah masing-masing. Dalam surat/fatwa tersebut akan dinyatakan secara sah dan resmi siapa-siapa saja yang berhak mendapatkan warisan dari pewaris.
Apabila di antara para ahli waris disepakati bersama adanya pembagian warisan, maka kesepakatan tersebut wajib dibuat dihadapan Notaris. Jika salah satu pembagian yang disepakati adalah pembagian tanah maka Anda harus melakukan pendaftaran di Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan Surat Kematian, Surat Keterangan Waris atau Fatwa Waris, dan surat Wasiat atau Akta Pembagian Waris bila ada.
Satu bidang tanah bisa diwariskan kepada lebih dari satu pewaris. Bila demikian maka pendaftaran dapat dilakukan atas nama seluruh ahli waris (lebih dari satu nama). Nah, dengan pembagian waris yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang maka diharapkan bisa meminimalkan adanya gugatan dari salah satu ahli waris yang merasa tidak adil dalam pembagiannya.
Empat Golongan yang Berhak Menerima Warisan
A.    Golongan I.
Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas yang mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-masing mendapat ¼ bagian.
·         Ayah
·         Ibu
·         Pewaris
·         Saudara

B.     Golongan II
Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris.

Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian

C.     Golongan III
·         kakek
·         nenek
Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah.
Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu.

D.    Golongan IV
Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.

Sumber: http://mayangparvitaputri31207471 /2009/11/01/hukumperdata/

0 comments

Posting Komentar

silahkan berkomentar dengan bijak, sopan, dan santun. termiakasih telah mampir dan membaca blog kami.