Sekolah Kreatif dan Imajinatif untuk Anak

Citra Persada

Dosen Fakultas Teknik Universitas Lampung

TEMAN saya, suami istri pemilik sekolah musik terkenal di Bandar Lampung mengeluarkan ketiga anaknya dari sekolah formal karena “kecewa” dengan sistem pendidikan yang ditempuh anaknya.

Mereka memutuskan mendidik sendiri di rumah lewat home schooling. Saya pikir, ini keputusan yang sangat berani karena saya sendiri yang juga pernah mengalami kekecewaan yang sama, tetapi tidak berani mengambil keputusan senekat itu.

Walaupun saya tahu, bahwa home schooling juga sudah diakui pemerintah sebagai salah satu bentuk sekolah jalur nonformal di Indonesia. Sewaktu saya tanya, mengapa mereka berani mengambil keputusan tersebut? Mereka katakan, kami sudah tahu ke mana anak-anak ini akan diarahkan untuk masa depannya karena masing-masing sudah mempunyai cita-cita yang akan diraihnya, sesuai dengan minat dan bakatnya.

Anak tertua saat ini sudah setingkat kelas VII, usia 12 tahun sudah diarahkan untuk mencari sendiri murid untuk dilatih musik dan berbisnis sederhana. Luar biasa, kenapa saya dan banyak orang tua lain tidak berani mengarahkan anak sedini mungkin?

Orang tua mempunyai banyak pilihan sistem pendidikan saat ini, mulai dari yang gratis, murah, sampai yang sangat mahal. Mulai dari sekolah yang tidak punya gedung sendiri (numpang), seperti lembaga pendidikan anak usia dini yang sedang menjamur, sekolah untuk duafa dan lain-lain, atau sekolah dengan bangunan setengah permanen dari kayu atau bambu (seperti: Sekolah Alam) sampai sekolah yang gedungnya sangat megah seperti hotel bintang lima (seperti sekolah-sekolah internasional).

Sebagian besar orang tua tidak mendapatkan pengetahuan dan informasi yang lengkap dan menyeluruh sehingga masih sering bingung untuk memilih sekolah. Akhirnya ikut tren sajalah, kata beberapa orang tua yang pernah berdiskusi dengan saya. Umumnya masih berfikir, yang penting selesaikan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, setelah itu mau menjadi apa barulah dipikirkan. Doanya semoga jadi anak yang berguna bagi nusa, bangsa, dan orang tua. Sungguh penuh ketidakpastian.

Sistem pendidikan kita membutuhkan waktu yang relatif panjang sampai anak dapat menjadi sarjana dan dipercaya setelah itu dapat menempuh dunia kerja. Sejak pendidikan usia dini mulai digalakkan, maka anak-anak sudah mulai masuk sekolah dari usia 3—6 tahun (PAUD), 7—13 tahun (SD), 14—19 tahun (sekolah menengah) dan 20—24 (perguruan tinggi). Maka mereka rata-rata anak-anak menempuh pendidikan selama 21 tahun. Setelah lulus sarjana, kebingungan kedua muncul, yaitu mau kerja di mana? Jika pendidikan kita masih berorientasi mencetak tenaga kerja dengan mental pegawai, akhirnya yang dihasilkan adalah jutaan penganggur.

Sistem pendidikan seperti ini tentunya harus segera ditinggalkan, terlalu lama dan tidak berkarakter. Sekarang banyak muncul jutawan muda, peneliti muda atau pemimpin muda berkarakter.

Bagaimana agar sistem pendidikan kita dapat menghasilkan manusia yang kreatif dan imajinatif? Mentalitas seperti apa yang dibutuhkan untuk dapat menjadi manusia kreatif dan imajinatif.

Gagasan kreatif dan imajinatif biasanya muncul dengan memberikan kebebasan berpikir bagi anak didik dalam suasana yang nyaman. Bukan sebaliknya dengan aturan-aturan yang sangat ketat, beban pelajaran yang padat, dan tugas-tugas yang banyak yang sering mereka tidak tahu untuk apa semua itu mereka lakukan.

Kreativitas adalah inspirasi yang muncul dan direalisasikan dalam bentuk tingkah laku. Potensi kreatif setiap anak berbeda menurut bidang maupun kadarnya. Kreativitas anak mencerminkan pribadinya yang unik. Tak perlu memarahi anak karena menyampah, biarkan dia berkreasi, berilah tanggung jawab untuk membersihkannya kembali jika sudah selesai. Anak secara alami adalah seorang peneliti yang handal, mereka selalu bertanya, mengulang-ulang dan menemukan konsep sendiri.

Apa peran guru dan orang tua dalam meningkatkan kreativitas anak? Kreativitas anak muncul bila guru terlibat secara emosional dan intelektual saat bermain dan beraktivitas bersama anak. Guru perlu mengenal dan menghargai ciri kreatif anak dengan mementingkan proses kegiatan bermain dari pada produknya semata (berorientasi proses bukan hasil). Selanjutnya bersama orang tua dapat memetakan potensi tersebut sehingga dapat diketahui sedini mungkin minat dan bakat si anak.

Berpikir kreatif tidak terbatas pada bindang seni dan keterampilan, tetapi juga untuk bidang lain seperti sains, matematika, dan bahasa.

Akhirnya, yang paling penting dalam memilih pendidikan yang tepat adalah yang dapat memaksimalkan potensi kreativitas dan imajinasi anak. Jika sistem pendidikan yang dipilih sudah sesuai dengan karakter tersebut, akan dapat membangun seluruh potensi kecerdasan anak sedini mungkin sehingga dapat memperpendek masa “sekolah”, menghasilkan anak-anak kreatif dan imajinatif dengan mental cinta belajar. Semoga.

sumber : http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2011052800592238

0 comments

Posting Komentar

silahkan berkomentar dengan bijak, sopan, dan santun. termiakasih telah mampir dan membaca blog kami.