Sebagaimana terdapat hubungan erat antara moral dan agama, demikian juga antara moral dan hukum. Kita mulai saja dengan memandang hubungan ini dari segi hokum: Hukum membutuhkan moral. Dalam kekaisaran Roma sudah terdapat pepatah Quid leges sin moribus? Apa artinya undang-undang, kalo tidak disertai moralitas?” Hukum tidak berarti banyak, kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa moralitas, hukum akan kosong. Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya. Karena itu hokum selalu harus diukur dengan norma moral. Undang-undang immoral tidak harus diganti, bila dalam suatu masyarakat kesadaran moral mencapai tahap cukup matang.
Di sisi lain moral juga membutuhkan hukum. Moral akan mengawang-ngawang saja, kalau tidak diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat, seperti (untuk sebagian) terjadi dengan hukum. Dengan demikian hukum bias meningkatkan dampak social dari moralitas. Contohnya “menghormati milik orang lain”, hal tersebut merupakan prinsip moral yang penting. Itu berartiberarti bukan saja saya tidak boleh mengambil dompet orang lain tanpa izin, melainkan milik dalam bentuk lain.
Walaupun ada hubungan yang erat antara moral dan hokum,namun perlu dipertahankan juga bahwa moral dan hokum tidak sama. Kenyataan yang paling jelas membuktikan hal itu adalah terjadinya konflik antar keduanya. Tidak mustahil adanya undang-undang immoral, undang-undang yang boleh-dan barang kali malah harus-ditolak dan ditentang atas pertimbangan etis. Dalam kasus seperti ini terdapat ketidakcocokan antara hokum dan moral. Kelemahan sistem pemerintahan colonial dulu bukannya kekurangan hokum. Kolonialisme sering kali memiliki system hokum yang disusun dengan kukuh dan rapi. Seusai perang dunia II bangsa yang dijajah satu demi satu memberontak terhadap Negara penjajah bukan karena system hokum yang kurang memuaskan, melainkan atas suatu gagasan yang etis. Gagasan etis itu diungkapkan baik sekali dalam pembukaan Undang-undang dasar 1945. Dengan demikian sistem hukum yang berlaku, ditolak karena alasan etis. Suatu contoh yang lebih dekat dengan zaman kita adalah politik apherteid di Afrika Selatan. Kita bias mengakui, dari segi hokum politik Negara ini dijalankan dengan baik. Politik pemisahan masyarakat kulit hitam dari masyarakat kulit putih disana tidak dipraktekkan dengan sewenang-wenang. Melainkan berdasarkan hokum. Bisa saja. Tapi kalau begitu, hokum itu harus ditolak atas nama suatu pertimbangan etis, yaitu bahwa semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat serta hak-hak yang sama dan sebab itu tidak boleh didiskriminasi karena alasan rasa tau warna kulit, sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak asasi manusia (pasal 1 dan 2).
Kita bisa mencari lagi untuk merinci perbedaan antara hokum dan moral itu. Sedikitnya empat perbedaan bisa dikemukakan. Pertama ialah hokum lebih dikodifikasi daripada moralitas, artinya, dituliskan dan secara lebih sistematis disusun dalam kitab undag-undang. Karena itu norma yuridis mempunyai kepastian lebih besar dan bersifat lebih obyektif. Sebaliknya, norma moral bersifat lebih subyektif dan akibatnya lebih banyak diganggu oleh diskusi-diskusi yang mencari kejelasan tentang yang harus dianggap etis atau tidak etis. Tentu saja, kits semua tahu, di bidang hokum pun terdapat banyak sekali diskusi dan ketidakpastian, tapi di bidang moral itu lebih besar lagi, justru karena tidak ada pegangan tertulis. Perlu diakui, kodifikasi hokum dapat menimbulkan kesulitan juga. Kadang-kadang ada undang-undang yang sudah dianggap using dan tidak diterapkan lagi.
Baik hukum maupun moral mengatur tingkah lau manusia, namun hokum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang. Itulah pebedaan antara legalitas dan moralitas, yang sangat ditekankan oleh filsuf Jerman Immanuel Kant.hukum hanya meminta legalitas, artinya, kita memenuhi hukum jika ingkah laku lahiriah sesuai dengan hukum. Sikap batin dalam hal itu tidak penting. Mungkin saya hanya membayar pajak karena saya takut akan menghadapi tindakan dari yang berwajib, seandainya saya tidak membarnya. Hukum hanya dapat melarang perbuatan-perbuatan lahiriah. Sebaliknya, dalam konteks moralitas sikap batin sangat penting. Apakah saya tidak mencuri karena ditangkap polisi atau karena alasan keadilan, dari segi moralitas betul-betul ada relevansinya. Dari segi etis, orang betingkah laku dengan baik, kalau ia tidak mencuri justru karena perbuatan itu buruk. Orang yang hanya dengan lahiriah memenuhi norma-norma moral, berlaku secara “legalitas”. Sebab, legalisme ialah sikap memenuhi norma-norma etis secara lahiriah saja tanpa melibatkan diri dari dalam.
Perbedaan lain lagi adalah bahwa sanksi yang berkaitan dengan hukum berlainan dari sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum sebagian besa bersifat memaksa, orang yang melanggar hokum terkena hukuman. Orang yang menolak membayar hutang dapat dipaksa dengan menyita harta miliknya. Tapi norma-norma etis tidak dapat dipaksaka. Menjalankan paksaan di bidang etis tidak akan efektif juga, sebab paksaan hanya dapat menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan-perbuatan etis justru berasal dari dala. Satu-satunya sanksi di bidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenan, karena menuduh si pelaku tentang perbuatannya yang kurang baik.
Perbedaan mengenai sanksi itu berkaitan dengan suatu perbedaan lagi. Hukum didasarkan atas kehendk masyarakat dan akhirnya atas kehendak Negara. Juga kalau hukum tidak secara langsung berasal dari negara , seperti halnya hukum adat, maka hukum itu harus diakui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu maupun masyarakat. Dengan cara demokratis ataupun dengan cara yang lain masyarakat dapat mengubah hukum, tapi tidak pernah masyarakat bisa mengubah atau membatalkan suatu norma moral.
Di sisi lain moral juga membutuhkan hukum. Moral akan mengawang-ngawang saja, kalau tidak diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat, seperti (untuk sebagian) terjadi dengan hukum. Dengan demikian hukum bias meningkatkan dampak social dari moralitas. Contohnya “menghormati milik orang lain”, hal tersebut merupakan prinsip moral yang penting. Itu berartiberarti bukan saja saya tidak boleh mengambil dompet orang lain tanpa izin, melainkan milik dalam bentuk lain.
Walaupun ada hubungan yang erat antara moral dan hokum,namun perlu dipertahankan juga bahwa moral dan hokum tidak sama. Kenyataan yang paling jelas membuktikan hal itu adalah terjadinya konflik antar keduanya. Tidak mustahil adanya undang-undang immoral, undang-undang yang boleh-dan barang kali malah harus-ditolak dan ditentang atas pertimbangan etis. Dalam kasus seperti ini terdapat ketidakcocokan antara hokum dan moral. Kelemahan sistem pemerintahan colonial dulu bukannya kekurangan hokum. Kolonialisme sering kali memiliki system hokum yang disusun dengan kukuh dan rapi. Seusai perang dunia II bangsa yang dijajah satu demi satu memberontak terhadap Negara penjajah bukan karena system hokum yang kurang memuaskan, melainkan atas suatu gagasan yang etis. Gagasan etis itu diungkapkan baik sekali dalam pembukaan Undang-undang dasar 1945. Dengan demikian sistem hukum yang berlaku, ditolak karena alasan etis. Suatu contoh yang lebih dekat dengan zaman kita adalah politik apherteid di Afrika Selatan. Kita bias mengakui, dari segi hokum politik Negara ini dijalankan dengan baik. Politik pemisahan masyarakat kulit hitam dari masyarakat kulit putih disana tidak dipraktekkan dengan sewenang-wenang. Melainkan berdasarkan hokum. Bisa saja. Tapi kalau begitu, hokum itu harus ditolak atas nama suatu pertimbangan etis, yaitu bahwa semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat serta hak-hak yang sama dan sebab itu tidak boleh didiskriminasi karena alasan rasa tau warna kulit, sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak asasi manusia (pasal 1 dan 2).
Kita bisa mencari lagi untuk merinci perbedaan antara hokum dan moral itu. Sedikitnya empat perbedaan bisa dikemukakan. Pertama ialah hokum lebih dikodifikasi daripada moralitas, artinya, dituliskan dan secara lebih sistematis disusun dalam kitab undag-undang. Karena itu norma yuridis mempunyai kepastian lebih besar dan bersifat lebih obyektif. Sebaliknya, norma moral bersifat lebih subyektif dan akibatnya lebih banyak diganggu oleh diskusi-diskusi yang mencari kejelasan tentang yang harus dianggap etis atau tidak etis. Tentu saja, kits semua tahu, di bidang hokum pun terdapat banyak sekali diskusi dan ketidakpastian, tapi di bidang moral itu lebih besar lagi, justru karena tidak ada pegangan tertulis. Perlu diakui, kodifikasi hokum dapat menimbulkan kesulitan juga. Kadang-kadang ada undang-undang yang sudah dianggap using dan tidak diterapkan lagi.
Baik hukum maupun moral mengatur tingkah lau manusia, namun hokum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang. Itulah pebedaan antara legalitas dan moralitas, yang sangat ditekankan oleh filsuf Jerman Immanuel Kant.hukum hanya meminta legalitas, artinya, kita memenuhi hukum jika ingkah laku lahiriah sesuai dengan hukum. Sikap batin dalam hal itu tidak penting. Mungkin saya hanya membayar pajak karena saya takut akan menghadapi tindakan dari yang berwajib, seandainya saya tidak membarnya. Hukum hanya dapat melarang perbuatan-perbuatan lahiriah. Sebaliknya, dalam konteks moralitas sikap batin sangat penting. Apakah saya tidak mencuri karena ditangkap polisi atau karena alasan keadilan, dari segi moralitas betul-betul ada relevansinya. Dari segi etis, orang betingkah laku dengan baik, kalau ia tidak mencuri justru karena perbuatan itu buruk. Orang yang hanya dengan lahiriah memenuhi norma-norma moral, berlaku secara “legalitas”. Sebab, legalisme ialah sikap memenuhi norma-norma etis secara lahiriah saja tanpa melibatkan diri dari dalam.
Perbedaan lain lagi adalah bahwa sanksi yang berkaitan dengan hukum berlainan dari sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum sebagian besa bersifat memaksa, orang yang melanggar hokum terkena hukuman. Orang yang menolak membayar hutang dapat dipaksa dengan menyita harta miliknya. Tapi norma-norma etis tidak dapat dipaksaka. Menjalankan paksaan di bidang etis tidak akan efektif juga, sebab paksaan hanya dapat menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan-perbuatan etis justru berasal dari dala. Satu-satunya sanksi di bidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenan, karena menuduh si pelaku tentang perbuatannya yang kurang baik.
Perbedaan mengenai sanksi itu berkaitan dengan suatu perbedaan lagi. Hukum didasarkan atas kehendk masyarakat dan akhirnya atas kehendak Negara. Juga kalau hukum tidak secara langsung berasal dari negara , seperti halnya hukum adat, maka hukum itu harus diakui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu maupun masyarakat. Dengan cara demokratis ataupun dengan cara yang lain masyarakat dapat mengubah hukum, tapi tidak pernah masyarakat bisa mengubah atau membatalkan suatu norma moral.
0 comments
Posting Komentar
silahkan berkomentar dengan bijak, sopan, dan santun. termiakasih telah mampir dan membaca blog kami.