b. Kebebasan Individual
seperti kita lihat, kebebasan dalam arti sosial-politik berkaitan erat dengan etika. Namun demikian, kebebasan sosial-politik di sini tidak akan digarap lebih lanjut. Masalah-masalah mengenai kebebasan ini dibahas dalam cabang etika yang disebut etika politik, bukan etika umum. Bagi etika umum lebih penting adalah kebebasan individual. Karena itu berikut akan dibicarakan tentang kebebasan individual saja. Kita mulai dengan menganalisis beberapa arti kebebasan, yang dapat dibedakan di sini.
1) Kesewenang-wenangan
Kadang kala kebebasan dimengerti sebagai kesewenang-wenangan (arbitrariness). Kalau begitu orang disebut bebas bila ia dapat berbuat atau tidak berbuat sesuka hatinya. Di sini “bebas” dimengerti sebagai terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan. Dapat dikatakan bertindak semau gue itulah kebebasan. Dapat dicontohkan, seorang pelajar adalah bebas kalau tidak perlu masuk sekolah, karena hari itu kebetulan libur atau karena ia mengambil keputusan untuk bolos. Ia bebas dalam arti: lepas dari kewajiban belajar dan dapat mengisi waktu sekehendak hatinya.
Kalau tidak berfikir lebih panjang, banyak orang cenderung menerima pengertian kebebasan ini. Atas pertanyaan “apa itu kebebasan”, secara spontan mereka akan menjawab: “saya bebas,
Jika saya bisa melakukan apa saja yang saya mau”. Kesan spontan ini disebabkan karena orang mencampuradukkan kebebasan dengan merasa bebas.
Kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan sebenarnya tidak pantas disebut “kebebasan”. Di sini kata “bebas” disalahgunakan. Sebab, “bebas” sesungguhnya tidak berarti lepas dari segala keterikatan. Kebebasan yang sejati mengandaikan keterikan oleh norma-norma. Norma tidak menghambat adanya kebebasan, tapi justru memungkinkan tingkah laku bebas. Dalam hal ini tingkah laku bebas dapat dibandingkan dengan penggunaan bahasa. Kaidah-kaidah bahasa tidak menghambat, melainkan justru memungkinkan kita berkomunikasi melalui bahasa. Kita semua harus mentaati aturan-aturan tata bahasa, bila kita ingin mengerti satu sama lain. Komunikasi tidak akan dapat berjalan dengan baik jika menyingkirkan kaidah-kaidah yang berlaku untuk suatu bahasa tertentu. Demikian juga dalam tingkah laku kita sehari-hari, kebebasan tidak bertentangan dengan adanya norma-norma, melainkan justru dimungkinkan karena norma-norma itu.
2) Kebebasan Fisik
Arti “kebebasan” berikut adalah kebebasan fisik. Di sini bebas berarti tiada paksaan atau rintangan dari luar. Orang menganggap bebas dalam arti ini, jika bisa bisa bergerak ke mana saja ia mau tanpa hambatan apapun. Orang yang diborgol atau dipasung tentu tidak bebas. Selam meringkuk di penjara, seorang narapidana tidak bebas, tetapi begitu masa tahanannya lewat ia kembali menghirup udara kebebasan.
Pengertian “bebas” yang dimaksudkan di atas masih sangat dangkal. Bisa saja orang tidak menikmati kebebasan fisik, namun sungguh-sungguh bebas. Banyak pahlawan pernah ditahan dan mereka tetap bebas sepenuh-penuhnya. Memang benar apa yang dikatakan Friedrich Schiller, penyair Jerman abad ke-18: “manusia diciptakan bebas dan ia tetap bebas, sekalipun lahir terbelenggu”. Tiadanya kebebasan fisik bisa disertai adanya kebebasan dalam arti yang lebih mendalam. Dan sebaliknya, kalau orang dapat bergerak dengan bebas, hal itu belum menjamin bahwa ia bebas sungguh-sungguh.
Biarpun dengan kebebasan fisik belum terwujud kebebasan yang sebenarnya, namun kebebasan ini patut dinilai positif. Jika kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan harus ditolak sebagai penyalahgunaan kata “kebebasan”, maka kebebasan fisik bisa kita hargai tanpa ragu-ragu. Kebebasan ini sangat bermanfaat dan sangat dibutuhkan untuk menjadi orang yang bebas dalam arti yang sebenarnya.
3) Kebebasan Yuridis
Arti “kebebasan” lain dapat disebut kebebasan yuridis, yang berkaitan erat denga hukum dan harus dijamin oleh hukum. Sebenarnya kebebasan yuridis ini merupakan sebuah aspek dari hak-hak manusia. Dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (1948) dan juga dalam dokumen-dokumen lain tentang hak-hak manusia berulangkali dibicarakan tentang “hak-hak dan kebebasan-kebebasan”. Tidak mengherankan bahwa hak-hak di sini disebut bersamaan dengan kebebasan, karena setiap hak mengandung kemungkinan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu dengan bebas dan tidak terganggu.
Yang dimaksud dengan kebebasan dalam arti ini adalah syarat-syarat fisis dan sosial yang perlu dipenuhi agar kita dapat menjalankan kebebasan kita secara konkrit. Dalam pengertian lain adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar manusia dapat mengembangkan kemungkinan-kemungkinan dengan semestinya. Kebebasan-kebebasan yuridis ini dimaksudkan semua syarat hidup di bidang ekonomis, sosial dan politik yang diperlukan untuk menjalankan kebebasan manusia secara konkrit dan mewujudkan kemungkinan-kemungkinan yang terpendam dalam setiap manusia.
Kebebasan yuridis dapat dibedakan menjadi dua, yakni:
a) Dengan kebebasan-kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat dimaksudkan semua kemungkinan manusia untuk bertindak bebas yang terikat begitu erat dengan kodrat manusia, sehingga tidak pernah boleh diambil dari anggota-anggota masyarakat. Kebebasan ini berkaitan dengan martabat manusia itu sendiri dan karena itu tidak dapat dipisahkan dari manusia itu sendiri. Kebebasan ini tidak diciptakan oleh negara, dan melekat pada diri manusia bukan karena ia warga masyarakat atau warga negara. Tugas Negara di sini ialah untuk menjamin serta menegakkan kebebasan ini. Secara konkrit kebebasan-kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat ini sama dengan hak-hak asasi manusia, seperti dirumuskan dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia. Setiap manusia memiliki kebebasan untuk beragama, berfikir, berkumpul, menyatakan pendapat dan sebagainya, di mana kebebasan-kebebasan ini telah dicantumkan secara eksplisit di dalam undang-undang dasar negara modern termasuk Indonesia.
b) Kebebasan-kebebasan yang didasarkan pada hukum positif diciptakan oleh negara. Kebebasan ini merupakan buah hasil perundang-undangan. Seandainya tidak dirumuskan, kebebasan ini tidak ada sama sekali. Itulah perbedaan dengan kebebasan-kebebasan yang langsung berasal dari hukum kodrat. Tapi pada kenyataannya, kebebasan-kebebasan ini merupakn penjabaran dan perincian kebebasan-kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat.
4) Kebebasan Psikologis
Salah satu arti “kebebasan” yang sangat penting adalah kebebasan psikologis. Dengan kebebasan psikologis kita maksudkan kemampuan yang dimiliki manusia untuk mengembangkan serta mengarahkan hidupnya. Kemampuan ini menyangkut kehendak, bahkan merupakan ciri khasnya. Karena itu suatu nama lain untuk kebebasan psikologis adalah “kehendak bebas” (free will). Kebebasan ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk berrasio. Manusia bisa berfikir sebelum bertindak.
Hakikat kebebasan psikologis adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Saya adalah bebas dalam arti ini, bila sayalah yang yang menentukan dirikudan bukan faktor-faktor dari luar. Kebebasan psikologis adalah autodeterminasi: “penentuan aku oleh aku”.
5. Kebebasan Moral
Kebebasan moral berkaitan erat dengan kebebasan psikologis, namun tidak boleh disamakan dengannya. Kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis, sehingga tanpa kebebasan tidak mungkin terdapat kebebasan moral. Tapi kalau terdapat kebebasan psikologis belum tentu terdapat kebebasan moral juga, walaupun dalam keadaan normal kebebasan psikologis akan disertai kebebasan moral.
Mari kita memandang contoh berikut ini: seorang sandera dipaksa oleh teroris untuk menandatangani surat pernyataan. Sandera itu memilih untuk membubuhkan tanda tangan pada surat pernyataan. Dari sudut psikologis, perbuatan itu bebas, perbuatan itu keluar dari kehendaknya. Ia menentukan sendiri. Dari sudut moral hal tersebut dikatakan tidak bebas, karena ia melakukannya secara terpaksa. Perbuatan itu dilakukan dengan bebas (dalam arti kebebasan psikologis), tapi tidak dengan suka rela (tidak ada kebebasan moral). Dan inilah kiranya cara paling jelas untuk membedakan kebebasan psikologis dengan kebebasan moral. Kebebasan psikologis berarti bebas begitu saja (free), sedangkan kebebasan moral berarti suka rela (voluntary).
6. Kebebasan Eksistensial
Kiranya masih ada bentuk kebebasan lain lagi, walaupun tidak mudah melukiskannya. Kita dapat menamakannya kebebasan eksistensial. Maksudnya, kebebasan menyeluruh yang menyangkut seluruh pribadi manusia dan tidak terbatas pada salah satu aspek saja. Kebebasan ini mencakup seluruh eksistensi manusia.
Kebebasan eksistensial adalah bentuk kebebasan tertinggi. Tentu saja, manusia tidak memiliki kebebasan ini tanpa kebebasan dalam arti lain, khususnya kehendak bebas. Tapi kebebasan eksistensial melebihi semua arti lain itu. Orang yang memiliki kebebasan eksistensial seakan-akan “memiliki dirinya sendiri”. Ia mencapai tarap otonomi, kedewasaan, otentisitas dan kematangan rohani.
Kebebasan eksistensial ini jarang sekali direalisasikan dengan sempurna. Kebebasan ini terutama merupakan suatu ideal atau cita-cita yang bisa memberi arah dan makna kepada kehidupan manusia. Kebebasan ini selalu patut dikejar, tapi jarang terealisasi sepenuhnya.
seperti kita lihat, kebebasan dalam arti sosial-politik berkaitan erat dengan etika. Namun demikian, kebebasan sosial-politik di sini tidak akan digarap lebih lanjut. Masalah-masalah mengenai kebebasan ini dibahas dalam cabang etika yang disebut etika politik, bukan etika umum. Bagi etika umum lebih penting adalah kebebasan individual. Karena itu berikut akan dibicarakan tentang kebebasan individual saja. Kita mulai dengan menganalisis beberapa arti kebebasan, yang dapat dibedakan di sini.
1) Kesewenang-wenangan
Kadang kala kebebasan dimengerti sebagai kesewenang-wenangan (arbitrariness). Kalau begitu orang disebut bebas bila ia dapat berbuat atau tidak berbuat sesuka hatinya. Di sini “bebas” dimengerti sebagai terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan. Dapat dikatakan bertindak semau gue itulah kebebasan. Dapat dicontohkan, seorang pelajar adalah bebas kalau tidak perlu masuk sekolah, karena hari itu kebetulan libur atau karena ia mengambil keputusan untuk bolos. Ia bebas dalam arti: lepas dari kewajiban belajar dan dapat mengisi waktu sekehendak hatinya.
Kalau tidak berfikir lebih panjang, banyak orang cenderung menerima pengertian kebebasan ini. Atas pertanyaan “apa itu kebebasan”, secara spontan mereka akan menjawab: “saya bebas,
Jika saya bisa melakukan apa saja yang saya mau”. Kesan spontan ini disebabkan karena orang mencampuradukkan kebebasan dengan merasa bebas.
Kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan sebenarnya tidak pantas disebut “kebebasan”. Di sini kata “bebas” disalahgunakan. Sebab, “bebas” sesungguhnya tidak berarti lepas dari segala keterikatan. Kebebasan yang sejati mengandaikan keterikan oleh norma-norma. Norma tidak menghambat adanya kebebasan, tapi justru memungkinkan tingkah laku bebas. Dalam hal ini tingkah laku bebas dapat dibandingkan dengan penggunaan bahasa. Kaidah-kaidah bahasa tidak menghambat, melainkan justru memungkinkan kita berkomunikasi melalui bahasa. Kita semua harus mentaati aturan-aturan tata bahasa, bila kita ingin mengerti satu sama lain. Komunikasi tidak akan dapat berjalan dengan baik jika menyingkirkan kaidah-kaidah yang berlaku untuk suatu bahasa tertentu. Demikian juga dalam tingkah laku kita sehari-hari, kebebasan tidak bertentangan dengan adanya norma-norma, melainkan justru dimungkinkan karena norma-norma itu.
2) Kebebasan Fisik
Arti “kebebasan” berikut adalah kebebasan fisik. Di sini bebas berarti tiada paksaan atau rintangan dari luar. Orang menganggap bebas dalam arti ini, jika bisa bisa bergerak ke mana saja ia mau tanpa hambatan apapun. Orang yang diborgol atau dipasung tentu tidak bebas. Selam meringkuk di penjara, seorang narapidana tidak bebas, tetapi begitu masa tahanannya lewat ia kembali menghirup udara kebebasan.
Pengertian “bebas” yang dimaksudkan di atas masih sangat dangkal. Bisa saja orang tidak menikmati kebebasan fisik, namun sungguh-sungguh bebas. Banyak pahlawan pernah ditahan dan mereka tetap bebas sepenuh-penuhnya. Memang benar apa yang dikatakan Friedrich Schiller, penyair Jerman abad ke-18: “manusia diciptakan bebas dan ia tetap bebas, sekalipun lahir terbelenggu”. Tiadanya kebebasan fisik bisa disertai adanya kebebasan dalam arti yang lebih mendalam. Dan sebaliknya, kalau orang dapat bergerak dengan bebas, hal itu belum menjamin bahwa ia bebas sungguh-sungguh.
Biarpun dengan kebebasan fisik belum terwujud kebebasan yang sebenarnya, namun kebebasan ini patut dinilai positif. Jika kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan harus ditolak sebagai penyalahgunaan kata “kebebasan”, maka kebebasan fisik bisa kita hargai tanpa ragu-ragu. Kebebasan ini sangat bermanfaat dan sangat dibutuhkan untuk menjadi orang yang bebas dalam arti yang sebenarnya.
3) Kebebasan Yuridis
Arti “kebebasan” lain dapat disebut kebebasan yuridis, yang berkaitan erat denga hukum dan harus dijamin oleh hukum. Sebenarnya kebebasan yuridis ini merupakan sebuah aspek dari hak-hak manusia. Dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (1948) dan juga dalam dokumen-dokumen lain tentang hak-hak manusia berulangkali dibicarakan tentang “hak-hak dan kebebasan-kebebasan”. Tidak mengherankan bahwa hak-hak di sini disebut bersamaan dengan kebebasan, karena setiap hak mengandung kemungkinan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu dengan bebas dan tidak terganggu.
Yang dimaksud dengan kebebasan dalam arti ini adalah syarat-syarat fisis dan sosial yang perlu dipenuhi agar kita dapat menjalankan kebebasan kita secara konkrit. Dalam pengertian lain adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar manusia dapat mengembangkan kemungkinan-kemungkinan dengan semestinya. Kebebasan-kebebasan yuridis ini dimaksudkan semua syarat hidup di bidang ekonomis, sosial dan politik yang diperlukan untuk menjalankan kebebasan manusia secara konkrit dan mewujudkan kemungkinan-kemungkinan yang terpendam dalam setiap manusia.
Kebebasan yuridis dapat dibedakan menjadi dua, yakni:
a) Dengan kebebasan-kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat dimaksudkan semua kemungkinan manusia untuk bertindak bebas yang terikat begitu erat dengan kodrat manusia, sehingga tidak pernah boleh diambil dari anggota-anggota masyarakat. Kebebasan ini berkaitan dengan martabat manusia itu sendiri dan karena itu tidak dapat dipisahkan dari manusia itu sendiri. Kebebasan ini tidak diciptakan oleh negara, dan melekat pada diri manusia bukan karena ia warga masyarakat atau warga negara. Tugas Negara di sini ialah untuk menjamin serta menegakkan kebebasan ini. Secara konkrit kebebasan-kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat ini sama dengan hak-hak asasi manusia, seperti dirumuskan dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia. Setiap manusia memiliki kebebasan untuk beragama, berfikir, berkumpul, menyatakan pendapat dan sebagainya, di mana kebebasan-kebebasan ini telah dicantumkan secara eksplisit di dalam undang-undang dasar negara modern termasuk Indonesia.
b) Kebebasan-kebebasan yang didasarkan pada hukum positif diciptakan oleh negara. Kebebasan ini merupakan buah hasil perundang-undangan. Seandainya tidak dirumuskan, kebebasan ini tidak ada sama sekali. Itulah perbedaan dengan kebebasan-kebebasan yang langsung berasal dari hukum kodrat. Tapi pada kenyataannya, kebebasan-kebebasan ini merupakn penjabaran dan perincian kebebasan-kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat.
4) Kebebasan Psikologis
Salah satu arti “kebebasan” yang sangat penting adalah kebebasan psikologis. Dengan kebebasan psikologis kita maksudkan kemampuan yang dimiliki manusia untuk mengembangkan serta mengarahkan hidupnya. Kemampuan ini menyangkut kehendak, bahkan merupakan ciri khasnya. Karena itu suatu nama lain untuk kebebasan psikologis adalah “kehendak bebas” (free will). Kebebasan ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk berrasio. Manusia bisa berfikir sebelum bertindak.
Hakikat kebebasan psikologis adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Saya adalah bebas dalam arti ini, bila sayalah yang yang menentukan dirikudan bukan faktor-faktor dari luar. Kebebasan psikologis adalah autodeterminasi: “penentuan aku oleh aku”.
5. Kebebasan Moral
Kebebasan moral berkaitan erat dengan kebebasan psikologis, namun tidak boleh disamakan dengannya. Kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis, sehingga tanpa kebebasan tidak mungkin terdapat kebebasan moral. Tapi kalau terdapat kebebasan psikologis belum tentu terdapat kebebasan moral juga, walaupun dalam keadaan normal kebebasan psikologis akan disertai kebebasan moral.
Mari kita memandang contoh berikut ini: seorang sandera dipaksa oleh teroris untuk menandatangani surat pernyataan. Sandera itu memilih untuk membubuhkan tanda tangan pada surat pernyataan. Dari sudut psikologis, perbuatan itu bebas, perbuatan itu keluar dari kehendaknya. Ia menentukan sendiri. Dari sudut moral hal tersebut dikatakan tidak bebas, karena ia melakukannya secara terpaksa. Perbuatan itu dilakukan dengan bebas (dalam arti kebebasan psikologis), tapi tidak dengan suka rela (tidak ada kebebasan moral). Dan inilah kiranya cara paling jelas untuk membedakan kebebasan psikologis dengan kebebasan moral. Kebebasan psikologis berarti bebas begitu saja (free), sedangkan kebebasan moral berarti suka rela (voluntary).
6. Kebebasan Eksistensial
Kiranya masih ada bentuk kebebasan lain lagi, walaupun tidak mudah melukiskannya. Kita dapat menamakannya kebebasan eksistensial. Maksudnya, kebebasan menyeluruh yang menyangkut seluruh pribadi manusia dan tidak terbatas pada salah satu aspek saja. Kebebasan ini mencakup seluruh eksistensi manusia.
Kebebasan eksistensial adalah bentuk kebebasan tertinggi. Tentu saja, manusia tidak memiliki kebebasan ini tanpa kebebasan dalam arti lain, khususnya kehendak bebas. Tapi kebebasan eksistensial melebihi semua arti lain itu. Orang yang memiliki kebebasan eksistensial seakan-akan “memiliki dirinya sendiri”. Ia mencapai tarap otonomi, kedewasaan, otentisitas dan kematangan rohani.
Kebebasan eksistensial ini jarang sekali direalisasikan dengan sempurna. Kebebasan ini terutama merupakan suatu ideal atau cita-cita yang bisa memberi arah dan makna kepada kehidupan manusia. Kebebasan ini selalu patut dikejar, tapi jarang terealisasi sepenuhnya.
0 comments
Posting Komentar
silahkan berkomentar dengan bijak, sopan, dan santun. termiakasih telah mampir dan membaca blog kami.