RUANG LINGKUP KEKUATAN BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
A. Asas Legalitas
Asas legalitas tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Kalau kata-katanya yang asli di dalam bahasa Indonesia kata demi kata, maka akan berbunyi: “ Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat di pidana selain berdasarkan ketentuan-ketentuan perundangan-perundangan pidana yang mendahuluinya”.
Perlu pula diperhatikan bahwa dengan feit itu disalin orang juga dengan kata “peristiwa”, karena dengan istilah feit itu meliputi baik perbuatan yang melanggar sesuatu yang dilarang oleh hokum pidana maupun mengabaikan sesuatu yang diharuskan.
Penerapan hokum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan. Berlakunya hokum pidana menurut waktu menyangkut penerapan hokum pidana dari segi lain. Menurut Hazewinkel-Suringa, jika suatu perbuatan yang mencocoki rumusan delik yang dilakukan sebelum berlakunya ketentuan yang bersangkutan, maka bukan saja hal itu tidak dapat dituntut tetapi untuk orang yang bersangkutan samasekali tidak dapat dipidana.
Asas legalitas yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan di dalam bahasa Latin:” Nullum delictum nulla poenasine praevian legi poenali”, yang dapat disalin ke dalam bahasa Indonesia kata demi kata dengan: “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa kententuan pidana yang mendahuluinya”. Sering juga dipakai istilah Latin:”Nullumcrimen sine lege stricta, yang dapat disalin kata demi kata pula dengan:”Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”. Hazewinkel-Suringa memakai kata-kata dalam bahasa Belanda “Green delict, geen straf zonder een voorafgaande strafbepaling” untuk rumusan yang pertama dan “Geen delict zonder een precieze wettelijke bepaling” untuk rumusan yang kedua.
Ada dua hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan dari rumusan tersebu:
1) Jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam dengan pidana, maka perbuatan atau pengabaian tersebut harus tercantum di dalam undang-undang pidana.
2) Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu kekecualian yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP.
Moeljatno menulis bahwa asa legalitas itu mengandung tiga pnertian:
1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang
2) Untuk menetukan adanya tindak pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas)
3) Aturan-aturan hokum pidana tidak belaku surut
Meskipun rumus itu dalam bahasa Latin, namun ketentuan itu tidaklah berasal dari hokum Romawi. Hokum Romawi tidak mengenal asas legalitas, baik pada masa republic maupun sesudahnya. Rumus itu dibuat oleh Paul Johann Anselm von Feuerbach (1775-1833), seorang pakar hokum pidana Jerman di dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Recht pada tahun 1801. Jadi, merupakan produk ajaran klasik pada permulaan abad ke Sembilan belas (Beccaria).
Menurut Hazewinkel-Suringa, pemikiran seperti terkandung di dalam rumusan tersebut ditemukan juga dalam ajaran Montesquieu mengenai ajaran pemisahan kekuasaan, bukan hakim yang menyebutkan apa yang dapat dipidana. Pembuat undang-undang menciptakan sebelum perbuatan.
Manifestasi pertama kali di dalam Konstituti Amerika pada tahun 1783 dan berikutnya dan kemudian di dalm Pasal 8 Declaration des droits de I’homme et du citoyen tahun 1789. Akhirnya muncul di dalam Pasal 4 Code Penal dan WvS Belanda yang kemudian turun ke KUHP Indonesia,dan KUHP Belgia pada pasal 2.
Menurut van der Donk yang dikutip oleh A.Z.Anidin,pertama kli asas diterima di Austria pada tahun 1787 dan dicantumkan dalam KUHP Austria.
Mungkin yang benar adalah di dalam Konstitusi Amerika Serikat tahun 1783 dan berikutnya itu sudah tercantum asas itu,tetapi dalam percantuman di dalam KUHP,pertama kali di Austria.
Asas legalitas itu kemudian muncul di dalam banyak KUHP modern,seperti pasal 1 yat KUHP Republik Korea, Pasal 2 KUHP Thailand, Pasal 1 KUHP Turki,Psal 1 KUHPN Jepang,dan lain-lain.
Disamping itu,ada pula KUHP yang tidak mencantumkan asas legalitas seperti KUHP yang bersumber pada Inggris,yaitu KUHP Malaysia,KUHP Singapura,KUHP Brunei,begitu pula KUHP Argetina.
Inggris tidak mengenal asas itu karena hokum Inggris di bentuk secara empris,ia merupakan hasil keputusan-keputusan pengadilan terhadap kasusu-kasus dan juga common law.
Menurut A.Z. Abidin,ketiadaan asas legalitas di Inggris diimbangi dengan hakim yang berintegritas.mampu,dan jujur hakim,jury,penuntut umum dan pengacara yang mengunjung tinggi kehormatn dan semangat dan jiwq kerakyatnn,kesadarasn hokum rakyatnya dan polisinya yang efisien.Sinkatnya orang Inggris lebih mementingkan pelaksanaan hokum yang berintegrasi dan bermoral tinggi darioada rumus-rumus di kertas yang muluk-muluk.
Diketahui dalam sejarah bahwa Belanda pun yang menganut asas itu didalam KUHP pernah meninggalkan asas itu,yaitu pada tanggal 22 Desember 1943 di London dikeluarkan Keputusn Luar Biasa tentang Hukum Pidana(S.D 61),mengenai beberapa delik tehadap keamanan Negara dan kemanusian diberlakukan ketentuan yang berlaku surut.Bahkan pidana mati yang tidaj dikenal didalam KUHP Belanda dapat dikenakan sebagai hokum Negara dalam keadaan darurat.
Dengan motif yang berbeda,Uni soviet pun pernah meninggalkannya pada masa Stalin,yaitu supaya perbuatan yang membahaykan rezim soviet dapat dipidana.
Walaupun menurut pasal 1 ayat 1 KUHP di Indonesia dianut asas legalitas,namun dahulu sewaktu masih adanya pengadilan Swapraja dan pengadilan adat, dimungkinkan oleh Undang-undang Nomor 1(drt). Tahun 1951 Pasal 5 ayat 3 butir b hakim menjatuhkan yang pidana penjara maksimum tiga bulan dan/atau denda paling banyak lima ratus rupiah bagi perbuatan yang menurut hokum yang hidup harus dianggap delik yang belum ada padanannya di dalam KUHP.
Begitu pula di dalam Rancangan Buku I KUHP yang telah melalui loka karya yan diadakan oleh badan Pembinaan Hukum Nasional pada tahun 1982,tercantum asas legalitas pada Pasal I ayat I,namun pada ayat 4 dimungkinkan penjatuhan pidana terhadap delik adat setempat yang belum ada padanannya di dalam KUHP.
Mungkin ada kalangan yang merisaukan ketentuan semacam ini yang merupakan penyimpangan dari asas legalitas.Oleh karena itu,Tim pengajian Hukum Pidana sebagai penyusun Rancangan KUHP baru memikirkan untuk membatasi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap delik adat setempat itu dengan denda saja,yaitu yang paling ringan(menurut kategori I)
Di dalam Pasal 1 ayat KUHP dipakai kata-kata”Perundang-undangan pidana”bukan undang-undang pidana,ini berarti bukan undang-undang dalam arti formel saja,tetapi juga meliputi semua ketentuan yang secara materiel merupakan undang-undang seperti Peraturan Pemerintah,Keputusan Prsiden,Peraturan Daerah dan lain-lain yang berisi perumusan delik dan ancaman pidana.
Perlu pula dikemukakan tentang pendapat para pengarang yang pro dan kontra adanya asas legalitas tersebut didalam KUHP Indonesia..Hampir semua penulis yang di sebut didalam Tulsan ini dapat digolongkan pro dianutnya asa legalitas,dan khusus untuk Indonesia,dapat seorang penulis,yaitu Utrecht yang keberatan dianutnya asas tersebut di Indonesia.Alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana(strafwaardig)tidak dipidana karena adanya asas tersebut.Begitu pula asas tersebut menghalanginya berlakunya hukun pidana adat yang masih hidup dan akan hidup.
Menurut pendapat penulis, adanya asas tersebut di dalam KUHP Indonesia merupakan dilemma, karena memang dilihat dari segi yang satu seperti digambarkan oleh Utrecht tentang hokum adat yang masih hidup, dan menurut pendapat penulis tidak mungkin dikodifikasikan seluruhanya karena perbedaan adat berbagai suku bangsa, tetapi dilihat dari segi yang lain, yaitu kepastian hokum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan asas itu. Lagi pula sebagai Negara berkembang yang pengalaman dan pengtahuan para hakim masih sering dipandang kurang sempurna sehingga sangat berbahaya. Jika asas itu ditinggalkan.
Untuk mengisi kesenjangan ketentuan hokum bagi delik-delik ada adalah mamadai jika diciptakan ketentuan kekecualian seperti yang tercantum di dalam pasal 1 ayat 4 Rancangan KUHP,dengan pembatasan hanya berupa delik ringan.Ketentuan semacam ini pun dikritik secara tajam oleh dua orang sarjana Belanda yang dating keIndonesia pada tahun hun 1987 untuk berdiskusi dengan para anggota Tim Pengkajian Hukum Pidana sebagai penyusun rancangan KUHP termasuk penulis.Mereka,Profesor Keyzer dan Scaffmeister(yang tersebut terakhir berkebangsaan Jermann),memandang ketentuan semacam Pasal 1 ayat 4 Rancangan Buku I KUHP Indonesia itu yang menyimpang dari pasal
B. Penerapan Analogi
Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa penerapan analogi itu relative, karena ditolak penciptaan hukum pidana baru oleh hakim pidana dengan sarana analogi, tetapi tidak keberatan jika hakim menciptakan hukum baru in bonam partem. Kadang-kadang pembuatan undang-undang sendiri menciptakan analogi, misalnya :
1. bahwa dengan pemborongan diartikan semua perbuatan apapun namanya yang jelas dipandang yang begitu pula (Pasal 90 bis ayat 2 WvS N)
2. ada norma-norma yang rumusannya kabur
jika dikatakan bahwa penerapan analogi itu relatif, memang benar, keran kita dapat melihat penerapan anlogi di beberapa negara demokratis dan tidak berbahaya bagi hak-hak asasi manusia, sebaliknya penerapannya di negara-negara totaliter dipandang sangat berbahaya.
Pada tahun 20-an analogi diperkenalkan secara luas di Jerman Nazi yang dipelopori oleh Roland Freisler yang kemudian menjadi presiden Volksgerichtshof (Mahkamah Agung) Jerman Nazi.
Jadi, seseorang dapat dipidana kalau suatu perbuatan diancam dengan pidana oleh suatu undang-undang atau menurut pikiran dasar (Grundgedanken) suatu undang-undang pidana dan menurut perasaan sehat dari rakyat patut pidana.
Bentuk analogi yang dilarang menurut pendapat Vos, bahwa penerapan analogi tidak diizinkan setidak-tidaknya dalam hal yang dengan analogi diciptakan delik-delik baru dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat 1 KUHP. Dengan penerapan undang-udang secara analogi diartikan penerapan ketentuan dalam hal pembuat undang-undang belum memikirkan atau tidak dapat memikirkan tetapi alasan penerapan ketentuan pidana sama dengan kejadian yang diatur dengan ketentuan itu.dapat dikatakan bahwa perbedaan antara penerapan analogi dan interpretasi ekstensif menerapkan dua jalur tetapi satu hasil.
Dapat ditarik garis pemisah antara penerapan analogi yang dilarang dan yang diizinkan, yaitu dilarang jika diciptakan delik-delik baru berdasarkan analogi itu.
Jika ditelaah mengenai pendapat Vos tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ia menerima penerapan analogi dalam arti tebatas, yaitu sama dengan penafsiran ekstensif. Lain tanggapa Utrecht, yang mengatakan bahwa Vos menolak penerapan analogi, dengan mengutip halaman lain dari buku Vos, tetapi disertai dengan keraguan, kurang jelas maksudnya.
Begitu pula dengan Pompe, mirip sekali dengan apa yang ditulis Vos, artinya ia pun menerima penerapan analogi secara terbatas, dengan mengatakan bahwa yang dilarang ialah menjadikan sesuatu perbuatan dapat dipidana dengan penerapan analogi. Penerapan analogi terjadi dengan jalan mengabstrakkan sesuatu peraturan hukum menjadi lebih umum yang merupakan dasar peraturan itu, kemudian dari peraturan umum itu diterapkan pada kejadian yang tidak tercantum dalam teks peraturan tersebut.
Menurut Pompe, penerapan analogi diizinkan jika ditemukan adanya kesenjangan dalam undang-undang yang tidak dipikirkan (hal-hal yang dilupakan) atau hal-hal yang baru oleh pembuat undang-undang dan karena itu undang-undang tidak merumuskan lebih luas sehingga meliputi hal-hal itu di dalam teksnya.
Pendapat Pompe merupakan pembenaran pendapat Paul Scholten yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara penerapan analogi dan penafsiran ekstensif, yaitu dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi dari norma yang ada lalu dideduksikan menjadi aturan baru. Perbedaan keduanya hanya bersifat gradual saja.
Disatu pihak van Hattum menyetujui pendapat Paul Scholten, tetapi menolak untuk memakai baik penafsiran ekstensif maupun penerapan analogi.
Menurut pendapat tokoh Indonesia Moeljatno, ia menolak pemakaian penerapan analogi teteapi sebaiknya menerima penafsiran ekstensif. Oleh karena itu, Moeljatno mengambil sebagai tolok ukur batas antara penafsiran ekstensif dan penerapan analogi dapat dibaca pada arrest Hoge Raad 1934, maka perlu ditunjukkandisini isi putusan yang dimaksud , yaitu mengenai penerapan Pasal 286 KUHP .
Tokoh Indonesia lain yaitu Utrecht, berusaha pula untuk menarik garis pemisah antara interpretasi ekstensif dan penerapan analogi sebagai berikut :
I interpretasi = menjelaskan undang-undang setelah undang-undang tersebut dijelaskan.
Analogi = menjelaskan suatu perkara dengan tidak menjalankan undang-undang.
II interpretasi = menjalankan kaidah yang oleh undang-undang tidak dinyatakan dengan
tegas.
Analogi = menjalankan kaidah tersebut untuk menyelesaikan suatu perkara yang
tidak disinggung oleh kaidah, tetapi yang mengandung kesamaan dengan perkara yang disinggung kaidah tersebut.
Kemudian, Utrecht sadar bahwa tidak mungkin menarik garis pemisah yang jelas antara penfsiran ekstensif dengan penafsiran analogi. Bahkan ia menyatakan menolak analogi a’ priori berarti secara diam-diam menganut aliran positivistis yang sempit sekali yang tidak dapat disesuaikan dengan zaman sekarang. Pendapat ini selaras dengan pendapatnya yang tidak menerima asas legalitas.
Pada waktu itu Wijers mengemukakan, bahwa ada tiga kemungkinan menafsirkan undang-undang pidana jika ada kesenjangan dalam undang-undang pidana itu :
a. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, dibuat suatau pengertian yang lebih tinggi (dibuat suatu peraturan umum) yang pada hakikatnya menjadi inti peraturan perundang-undangan itu. Peraturan yang lebih tinggi (peraturan umum) itu dijadikan dasar untuk menyelesaikan perkara pidana yang tidak disebut di dalam peraturan perundang-undamgan tersebut tetapi yang mengandung kesamaan dengan perkara yang dengan tegas disebut di dalamnya. Bandingkan persamaannya dengan pendapat pompe di muka.
b. Peraturan perundang-undangan yang telah ada harus dilihat berhubungan dengan ciptaan hukum (rechtsgedachte) atau lembaga hukum (rechtsintituut) yang pada hakikatnya menjadi latar belakangnya. Apabila nyata bahwa suatu perkara walaupun tidak disebut dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada itu, dapat dianggap strafwaardig (patut dipidana) menurut ciptaan hokum atau asas-asas lembaga hukum tersebut, maka hakim harus menjatuhkan pidana. Ini sama dengan pangkal tolak pikiran Taverne.
c. Dijalankan interpretasi teleologis. Undang-undang harus dijalankan sesuai dengan tujuan sosialnya. Jangan menghiraukan kata-kata undang-undang itu. Apabila nyata bahwa sesuatu perkara walaupun tidak disebut dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada itu, dapat dianggap “patut dipidana” (strafwaardig) menurut tujuan sosial peraturan perundang-undangan tersebut, maka janganlah menghiraukan kata-kata peraturan perundang-undangan itu.
Dari penjelasan tentang penafsiran ekstensif ini makin kaburlah perbedaannya dengan analogi terbatas, bahkan sama saja dengan analogi terbatas menurut pengertian Pompe, dan menurut pengertian Taverne. Apakah yang dimaksud dengan “patut dipidana”, dan tidak patut dipidana? Apakah hakim atau rakyat? Bagaimana cara mengetahui pendapat rakyat tentang suatu perbuatan “patut dipidana”? oleh karena itu, menurut pendapat penulis, pendapat Pompe yang menyamakan interpretasi ekstensif dan penerapan analogi terbatas, sebagimana dikemukakan di muka dapat diterima.
A. Asas Legalitas
Asas legalitas tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Kalau kata-katanya yang asli di dalam bahasa Indonesia kata demi kata, maka akan berbunyi: “ Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat di pidana selain berdasarkan ketentuan-ketentuan perundangan-perundangan pidana yang mendahuluinya”.
Perlu pula diperhatikan bahwa dengan feit itu disalin orang juga dengan kata “peristiwa”, karena dengan istilah feit itu meliputi baik perbuatan yang melanggar sesuatu yang dilarang oleh hokum pidana maupun mengabaikan sesuatu yang diharuskan.
Penerapan hokum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan. Berlakunya hokum pidana menurut waktu menyangkut penerapan hokum pidana dari segi lain. Menurut Hazewinkel-Suringa, jika suatu perbuatan yang mencocoki rumusan delik yang dilakukan sebelum berlakunya ketentuan yang bersangkutan, maka bukan saja hal itu tidak dapat dituntut tetapi untuk orang yang bersangkutan samasekali tidak dapat dipidana.
Asas legalitas yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan di dalam bahasa Latin:” Nullum delictum nulla poenasine praevian legi poenali”, yang dapat disalin ke dalam bahasa Indonesia kata demi kata dengan: “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa kententuan pidana yang mendahuluinya”. Sering juga dipakai istilah Latin:”Nullumcrimen sine lege stricta, yang dapat disalin kata demi kata pula dengan:”Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”. Hazewinkel-Suringa memakai kata-kata dalam bahasa Belanda “Green delict, geen straf zonder een voorafgaande strafbepaling” untuk rumusan yang pertama dan “Geen delict zonder een precieze wettelijke bepaling” untuk rumusan yang kedua.
Ada dua hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan dari rumusan tersebu:
1) Jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam dengan pidana, maka perbuatan atau pengabaian tersebut harus tercantum di dalam undang-undang pidana.
2) Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu kekecualian yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP.
Moeljatno menulis bahwa asa legalitas itu mengandung tiga pnertian:
1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang
2) Untuk menetukan adanya tindak pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas)
3) Aturan-aturan hokum pidana tidak belaku surut
Meskipun rumus itu dalam bahasa Latin, namun ketentuan itu tidaklah berasal dari hokum Romawi. Hokum Romawi tidak mengenal asas legalitas, baik pada masa republic maupun sesudahnya. Rumus itu dibuat oleh Paul Johann Anselm von Feuerbach (1775-1833), seorang pakar hokum pidana Jerman di dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Recht pada tahun 1801. Jadi, merupakan produk ajaran klasik pada permulaan abad ke Sembilan belas (Beccaria).
Menurut Hazewinkel-Suringa, pemikiran seperti terkandung di dalam rumusan tersebut ditemukan juga dalam ajaran Montesquieu mengenai ajaran pemisahan kekuasaan, bukan hakim yang menyebutkan apa yang dapat dipidana. Pembuat undang-undang menciptakan sebelum perbuatan.
Manifestasi pertama kali di dalam Konstituti Amerika pada tahun 1783 dan berikutnya dan kemudian di dalm Pasal 8 Declaration des droits de I’homme et du citoyen tahun 1789. Akhirnya muncul di dalam Pasal 4 Code Penal dan WvS Belanda yang kemudian turun ke KUHP Indonesia,dan KUHP Belgia pada pasal 2.
Menurut van der Donk yang dikutip oleh A.Z.Anidin,pertama kli asas diterima di Austria pada tahun 1787 dan dicantumkan dalam KUHP Austria.
Mungkin yang benar adalah di dalam Konstitusi Amerika Serikat tahun 1783 dan berikutnya itu sudah tercantum asas itu,tetapi dalam percantuman di dalam KUHP,pertama kali di Austria.
Asas legalitas itu kemudian muncul di dalam banyak KUHP modern,seperti pasal 1 yat KUHP Republik Korea, Pasal 2 KUHP Thailand, Pasal 1 KUHP Turki,Psal 1 KUHPN Jepang,dan lain-lain.
Disamping itu,ada pula KUHP yang tidak mencantumkan asas legalitas seperti KUHP yang bersumber pada Inggris,yaitu KUHP Malaysia,KUHP Singapura,KUHP Brunei,begitu pula KUHP Argetina.
Inggris tidak mengenal asas itu karena hokum Inggris di bentuk secara empris,ia merupakan hasil keputusan-keputusan pengadilan terhadap kasusu-kasus dan juga common law.
Menurut A.Z. Abidin,ketiadaan asas legalitas di Inggris diimbangi dengan hakim yang berintegritas.mampu,dan jujur hakim,jury,penuntut umum dan pengacara yang mengunjung tinggi kehormatn dan semangat dan jiwq kerakyatnn,kesadarasn hokum rakyatnya dan polisinya yang efisien.Sinkatnya orang Inggris lebih mementingkan pelaksanaan hokum yang berintegrasi dan bermoral tinggi darioada rumus-rumus di kertas yang muluk-muluk.
Diketahui dalam sejarah bahwa Belanda pun yang menganut asas itu didalam KUHP pernah meninggalkan asas itu,yaitu pada tanggal 22 Desember 1943 di London dikeluarkan Keputusn Luar Biasa tentang Hukum Pidana(S.D 61),mengenai beberapa delik tehadap keamanan Negara dan kemanusian diberlakukan ketentuan yang berlaku surut.Bahkan pidana mati yang tidaj dikenal didalam KUHP Belanda dapat dikenakan sebagai hokum Negara dalam keadaan darurat.
Dengan motif yang berbeda,Uni soviet pun pernah meninggalkannya pada masa Stalin,yaitu supaya perbuatan yang membahaykan rezim soviet dapat dipidana.
Walaupun menurut pasal 1 ayat 1 KUHP di Indonesia dianut asas legalitas,namun dahulu sewaktu masih adanya pengadilan Swapraja dan pengadilan adat, dimungkinkan oleh Undang-undang Nomor 1(drt). Tahun 1951 Pasal 5 ayat 3 butir b hakim menjatuhkan yang pidana penjara maksimum tiga bulan dan/atau denda paling banyak lima ratus rupiah bagi perbuatan yang menurut hokum yang hidup harus dianggap delik yang belum ada padanannya di dalam KUHP.
Begitu pula di dalam Rancangan Buku I KUHP yang telah melalui loka karya yan diadakan oleh badan Pembinaan Hukum Nasional pada tahun 1982,tercantum asas legalitas pada Pasal I ayat I,namun pada ayat 4 dimungkinkan penjatuhan pidana terhadap delik adat setempat yang belum ada padanannya di dalam KUHP.
Mungkin ada kalangan yang merisaukan ketentuan semacam ini yang merupakan penyimpangan dari asas legalitas.Oleh karena itu,Tim pengajian Hukum Pidana sebagai penyusun Rancangan KUHP baru memikirkan untuk membatasi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap delik adat setempat itu dengan denda saja,yaitu yang paling ringan(menurut kategori I)
Di dalam Pasal 1 ayat KUHP dipakai kata-kata”Perundang-undangan pidana”bukan undang-undang pidana,ini berarti bukan undang-undang dalam arti formel saja,tetapi juga meliputi semua ketentuan yang secara materiel merupakan undang-undang seperti Peraturan Pemerintah,Keputusan Prsiden,Peraturan Daerah dan lain-lain yang berisi perumusan delik dan ancaman pidana.
Perlu pula dikemukakan tentang pendapat para pengarang yang pro dan kontra adanya asas legalitas tersebut didalam KUHP Indonesia..Hampir semua penulis yang di sebut didalam Tulsan ini dapat digolongkan pro dianutnya asa legalitas,dan khusus untuk Indonesia,dapat seorang penulis,yaitu Utrecht yang keberatan dianutnya asas tersebut di Indonesia.Alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana(strafwaardig)tidak dipidana karena adanya asas tersebut.Begitu pula asas tersebut menghalanginya berlakunya hukun pidana adat yang masih hidup dan akan hidup.
Menurut pendapat penulis, adanya asas tersebut di dalam KUHP Indonesia merupakan dilemma, karena memang dilihat dari segi yang satu seperti digambarkan oleh Utrecht tentang hokum adat yang masih hidup, dan menurut pendapat penulis tidak mungkin dikodifikasikan seluruhanya karena perbedaan adat berbagai suku bangsa, tetapi dilihat dari segi yang lain, yaitu kepastian hokum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan asas itu. Lagi pula sebagai Negara berkembang yang pengalaman dan pengtahuan para hakim masih sering dipandang kurang sempurna sehingga sangat berbahaya. Jika asas itu ditinggalkan.
Untuk mengisi kesenjangan ketentuan hokum bagi delik-delik ada adalah mamadai jika diciptakan ketentuan kekecualian seperti yang tercantum di dalam pasal 1 ayat 4 Rancangan KUHP,dengan pembatasan hanya berupa delik ringan.Ketentuan semacam ini pun dikritik secara tajam oleh dua orang sarjana Belanda yang dating keIndonesia pada tahun hun 1987 untuk berdiskusi dengan para anggota Tim Pengkajian Hukum Pidana sebagai penyusun rancangan KUHP termasuk penulis.Mereka,Profesor Keyzer dan Scaffmeister(yang tersebut terakhir berkebangsaan Jermann),memandang ketentuan semacam Pasal 1 ayat 4 Rancangan Buku I KUHP Indonesia itu yang menyimpang dari pasal
B. Penerapan Analogi
Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa penerapan analogi itu relative, karena ditolak penciptaan hukum pidana baru oleh hakim pidana dengan sarana analogi, tetapi tidak keberatan jika hakim menciptakan hukum baru in bonam partem. Kadang-kadang pembuatan undang-undang sendiri menciptakan analogi, misalnya :
1. bahwa dengan pemborongan diartikan semua perbuatan apapun namanya yang jelas dipandang yang begitu pula (Pasal 90 bis ayat 2 WvS N)
2. ada norma-norma yang rumusannya kabur
jika dikatakan bahwa penerapan analogi itu relatif, memang benar, keran kita dapat melihat penerapan anlogi di beberapa negara demokratis dan tidak berbahaya bagi hak-hak asasi manusia, sebaliknya penerapannya di negara-negara totaliter dipandang sangat berbahaya.
Pada tahun 20-an analogi diperkenalkan secara luas di Jerman Nazi yang dipelopori oleh Roland Freisler yang kemudian menjadi presiden Volksgerichtshof (Mahkamah Agung) Jerman Nazi.
Jadi, seseorang dapat dipidana kalau suatu perbuatan diancam dengan pidana oleh suatu undang-undang atau menurut pikiran dasar (Grundgedanken) suatu undang-undang pidana dan menurut perasaan sehat dari rakyat patut pidana.
Bentuk analogi yang dilarang menurut pendapat Vos, bahwa penerapan analogi tidak diizinkan setidak-tidaknya dalam hal yang dengan analogi diciptakan delik-delik baru dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat 1 KUHP. Dengan penerapan undang-udang secara analogi diartikan penerapan ketentuan dalam hal pembuat undang-undang belum memikirkan atau tidak dapat memikirkan tetapi alasan penerapan ketentuan pidana sama dengan kejadian yang diatur dengan ketentuan itu.dapat dikatakan bahwa perbedaan antara penerapan analogi dan interpretasi ekstensif menerapkan dua jalur tetapi satu hasil.
Dapat ditarik garis pemisah antara penerapan analogi yang dilarang dan yang diizinkan, yaitu dilarang jika diciptakan delik-delik baru berdasarkan analogi itu.
Jika ditelaah mengenai pendapat Vos tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ia menerima penerapan analogi dalam arti tebatas, yaitu sama dengan penafsiran ekstensif. Lain tanggapa Utrecht, yang mengatakan bahwa Vos menolak penerapan analogi, dengan mengutip halaman lain dari buku Vos, tetapi disertai dengan keraguan, kurang jelas maksudnya.
Begitu pula dengan Pompe, mirip sekali dengan apa yang ditulis Vos, artinya ia pun menerima penerapan analogi secara terbatas, dengan mengatakan bahwa yang dilarang ialah menjadikan sesuatu perbuatan dapat dipidana dengan penerapan analogi. Penerapan analogi terjadi dengan jalan mengabstrakkan sesuatu peraturan hukum menjadi lebih umum yang merupakan dasar peraturan itu, kemudian dari peraturan umum itu diterapkan pada kejadian yang tidak tercantum dalam teks peraturan tersebut.
Menurut Pompe, penerapan analogi diizinkan jika ditemukan adanya kesenjangan dalam undang-undang yang tidak dipikirkan (hal-hal yang dilupakan) atau hal-hal yang baru oleh pembuat undang-undang dan karena itu undang-undang tidak merumuskan lebih luas sehingga meliputi hal-hal itu di dalam teksnya.
Pendapat Pompe merupakan pembenaran pendapat Paul Scholten yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara penerapan analogi dan penafsiran ekstensif, yaitu dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi dari norma yang ada lalu dideduksikan menjadi aturan baru. Perbedaan keduanya hanya bersifat gradual saja.
Disatu pihak van Hattum menyetujui pendapat Paul Scholten, tetapi menolak untuk memakai baik penafsiran ekstensif maupun penerapan analogi.
Menurut pendapat tokoh Indonesia Moeljatno, ia menolak pemakaian penerapan analogi teteapi sebaiknya menerima penafsiran ekstensif. Oleh karena itu, Moeljatno mengambil sebagai tolok ukur batas antara penafsiran ekstensif dan penerapan analogi dapat dibaca pada arrest Hoge Raad 1934, maka perlu ditunjukkandisini isi putusan yang dimaksud , yaitu mengenai penerapan Pasal 286 KUHP .
Tokoh Indonesia lain yaitu Utrecht, berusaha pula untuk menarik garis pemisah antara interpretasi ekstensif dan penerapan analogi sebagai berikut :
I interpretasi = menjelaskan undang-undang setelah undang-undang tersebut dijelaskan.
Analogi = menjelaskan suatu perkara dengan tidak menjalankan undang-undang.
II interpretasi = menjalankan kaidah yang oleh undang-undang tidak dinyatakan dengan
tegas.
Analogi = menjalankan kaidah tersebut untuk menyelesaikan suatu perkara yang
tidak disinggung oleh kaidah, tetapi yang mengandung kesamaan dengan perkara yang disinggung kaidah tersebut.
Kemudian, Utrecht sadar bahwa tidak mungkin menarik garis pemisah yang jelas antara penfsiran ekstensif dengan penafsiran analogi. Bahkan ia menyatakan menolak analogi a’ priori berarti secara diam-diam menganut aliran positivistis yang sempit sekali yang tidak dapat disesuaikan dengan zaman sekarang. Pendapat ini selaras dengan pendapatnya yang tidak menerima asas legalitas.
Pada waktu itu Wijers mengemukakan, bahwa ada tiga kemungkinan menafsirkan undang-undang pidana jika ada kesenjangan dalam undang-undang pidana itu :
a. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, dibuat suatau pengertian yang lebih tinggi (dibuat suatu peraturan umum) yang pada hakikatnya menjadi inti peraturan perundang-undangan itu. Peraturan yang lebih tinggi (peraturan umum) itu dijadikan dasar untuk menyelesaikan perkara pidana yang tidak disebut di dalam peraturan perundang-undamgan tersebut tetapi yang mengandung kesamaan dengan perkara yang dengan tegas disebut di dalamnya. Bandingkan persamaannya dengan pendapat pompe di muka.
b. Peraturan perundang-undangan yang telah ada harus dilihat berhubungan dengan ciptaan hukum (rechtsgedachte) atau lembaga hukum (rechtsintituut) yang pada hakikatnya menjadi latar belakangnya. Apabila nyata bahwa suatu perkara walaupun tidak disebut dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada itu, dapat dianggap strafwaardig (patut dipidana) menurut ciptaan hokum atau asas-asas lembaga hukum tersebut, maka hakim harus menjatuhkan pidana. Ini sama dengan pangkal tolak pikiran Taverne.
c. Dijalankan interpretasi teleologis. Undang-undang harus dijalankan sesuai dengan tujuan sosialnya. Jangan menghiraukan kata-kata undang-undang itu. Apabila nyata bahwa sesuatu perkara walaupun tidak disebut dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada itu, dapat dianggap “patut dipidana” (strafwaardig) menurut tujuan sosial peraturan perundang-undangan tersebut, maka janganlah menghiraukan kata-kata peraturan perundang-undangan itu.
Dari penjelasan tentang penafsiran ekstensif ini makin kaburlah perbedaannya dengan analogi terbatas, bahkan sama saja dengan analogi terbatas menurut pengertian Pompe, dan menurut pengertian Taverne. Apakah yang dimaksud dengan “patut dipidana”, dan tidak patut dipidana? Apakah hakim atau rakyat? Bagaimana cara mengetahui pendapat rakyat tentang suatu perbuatan “patut dipidana”? oleh karena itu, menurut pendapat penulis, pendapat Pompe yang menyamakan interpretasi ekstensif dan penerapan analogi terbatas, sebagimana dikemukakan di muka dapat diterima.
0 comments
Posting Komentar
silahkan berkomentar dengan bijak, sopan, dan santun. termiakasih telah mampir dan membaca blog kami.