Yurisprudensi MA: Guru Tak Bisa Dipidana karena Mendisiplinkan Siswa

Keputusan Mahkamah Agung (MA) mengenai perlindungan guru yang mendisiplinkan siswa didasari pada banyaknya kasus kriminalisasi guru di Indonesia. Guru dituntut secara pidana karena tindakan disiplin yang sebenarnya bertujuan mendidik. Yurisprudensi MA ini menegaskan bahwa tindakan disiplin yang dilakukan guru untuk mendidik tidak dapat dipidanakan selama berada dalam koridor yang wajar dan proporsional.



Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yang dikutip dari website MA, Jumat (12/8/2016), guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa. 

Landasan Hukum yang Mendukung Keputusan MA

Beberapa regulasi dan Undang-Undang yang menguatkan yurisprudensi ini meliputi:

  1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen:

    • Pasal 39 Ayat (2) menyebutkan bahwa guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya memiliki hak atas perlindungan hukum, profesi, dan keselamatan kerja.
    • Pasal 40 mengamanatkan guru untuk melakukan tindakan pendidikan yang mencakup pemberian disiplin secara bijaksana demi pengembangan kepribadian dan karakter siswa.
  2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional:

    • Pasal 12 Ayat (1) menyatakan bahwa setiap siswa berhak mendapatkan pendidikan dalam lingkungan yang aman, nyaman, dan bebas dari perlakuan diskriminatif, sedangkan Pasal 40 Ayat (2) mengamanatkan kepada pendidik untuk menjalankan tugasnya dengan menghormati hak asasi siswa.
  3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002):

    • Pasal 54 menyatakan bahwa anak di lingkungan pendidikan harus dilindungi dari kekerasan fisik dan psikis. Namun, pasal ini diimbangi dengan hak guru untuk melakukan tindakan disiplin yang tidak berlebihan.
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru:

    • Pasal 44 menyebutkan bahwa guru memiliki hak untuk memperoleh perlindungan dalam menjalankan tugas profesionalnya dari berbagai tindakan yang melanggar hukum, termasuk dari ancaman pidana selama mereka melaksanakan kewajiban secara profesional.

Dampak Positif dari Yurisprudensi

Keputusan MA ini memberikan beberapa dampak positif bagi dunia pendidikan:

  1. Perlindungan Hukum bagi Guru: Dengan adanya kepastian hukum ini, guru merasa lebih aman dalam menjalankan tugas mereka untuk mendisiplinkan siswa tanpa takut dikriminalisasi selama mereka bertindak dalam batas wajar.

  2. Mendorong Disiplin dan Pendidikan Karakter: Guru menjadi lebih berani dan percaya diri dalam membimbing siswa, termasuk dalam menanamkan disiplin, sehingga siswa memiliki karakter yang kuat dan menghormati aturan.

  3. Meningkatkan Kewibawaan Guru: Yurisprudensi ini memperkuat peran guru sebagai pendidik sekaligus pembimbing. Guru tidak perlu takut mengambil langkah yang dianggap perlu selama dalam koridor mendidik, sehingga keberadaan mereka lebih dihargai.

Dampak Negatif dari Yurisprudensi

Di sisi lain, yurisprudensi ini juga memiliki beberapa dampak negatif yang perlu diperhatikan:

  1. Potensi Penyalahgunaan Wewenang: Jika tidak dikontrol, ada kemungkinan beberapa guru menyalahgunakan keputusan ini dan melakukan tindakan disiplin yang melampaui batas kewajaran.

  2. Kerancuan dalam Menentukan Batas Wajar: Tidak adanya parameter jelas tentang apa yang dimaksud dengan "tindakan wajar" bisa memicu perbedaan penafsiran. Hal ini dapat menjadi celah bagi tuntutan hukum.

  3. Persepsi Negatif di Masyarakat: Beberapa pihak mungkin melihat keputusan ini sebagai justifikasi bagi guru untuk bersikap keras kepada siswa, yang bisa menimbulkan persepsi negatif terhadap profesi guru.

Dampak Positif bagi Peserta Didik

  1. Pembentukan Karakter yang Lebih Disiplin dan Tanggung Jawab
    Dengan adanya tindakan disiplin yang mendidik, siswa akan lebih memahami pentingnya nilai kedisiplinan dan tanggung jawab. Ketika guru bertindak untuk mendisiplinkan siswa dengan cara yang tepat, mereka belajar menghormati aturan dan membangun kebiasaan baik yang akan bermanfaat bagi mereka dalam kehidupan sehari-hari dan masa depan.

  2. Penciptaan Lingkungan Belajar yang Kondusif
    Yurisprudensi ini mendorong guru untuk menjaga ketertiban di kelas, menciptakan lingkungan belajar yang tertib dan nyaman bagi semua siswa. Dengan demikian, siswa akan lebih mudah fokus belajar karena gangguan atau perilaku tidak disiplin yang menghambat proses pembelajaran dapat diminimalisir.

  3. Meningkatkan Kesadaran Siswa Akan Konsekuensi
    Tindakan disiplin yang diterapkan secara konsisten oleh guru membantu siswa memahami bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi. Hal ini meningkatkan kesadaran mereka akan tanggung jawab pribadi dan membantu membentuk mentalitas yang menghargai konsekuensi logis dari setiap perbuatan.

  4. Memupuk Rasa Hormat Terhadap Guru dan Orang Dewasa
    Ketika guru bertindak disiplin dengan tujuan mendidik, siswa secara perlahan akan belajar untuk lebih menghargai dan menghormati guru serta figur otoritas lainnya. Pembentukan sikap ini sangat penting bagi pengembangan kepribadian siswa, terutama dalam menumbuhkan rasa hormat pada orang lain.

  5. Mengembangkan Sikap Empati dan Kebersamaan
    Ketika tindakan disiplin dilakukan untuk menjaga ketertiban kelas, siswa belajar untuk lebih peka terhadap hak dan kenyamanan teman-temannya. Hal ini memupuk sikap empati dan kebersamaan di antara siswa, sehingga mereka dapat tumbuh dengan nilai-nilai sosial yang positif.

  6. Mendorong Kemandirian dan Kemampuan Mengelola Diri
    Dengan bimbingan disiplin dari guru, siswa juga belajar untuk mengelola diri dengan lebih baik. Mereka akan lebih mandiri dalam menentukan pilihan yang baik serta mampu mengontrol diri agar tidak melanggar aturan yang dapat mengganggu diri sendiri dan orang lain.

saran yang dapat diterapkan oleh penegak hukum 

jika menemui orang tua yang kerap melaporkan tindakan disiplin guru kepada anak mereka:

  1. Memberikan Pemahaman tentang Yurisprudensi dan Hukum yang Melindungi Guru
    Penegak hukum perlu memberikan edukasi kepada orang tua mengenai yurisprudensi Mahkamah Agung yang melindungi tindakan disiplin guru dalam konteks pendidikan. Penjelasan tentang Undang-Undang yang melindungi hak guru untuk mendisiplinkan siswa dalam batas kewajaran juga perlu disampaikan agar orang tua memahami hak dan kewajiban guru dalam lingkungan sekolah.

  2. Mendorong Mediasi di Sekolah sebelum Melaporkan Kasus
    Sebelum melanjutkan laporan hukum, penegak hukum dapat mendorong para orang tua untuk menyelesaikan masalah dengan guru dan pihak sekolah melalui mediasi. Mediasi ini dapat menjadi forum komunikasi terbuka bagi kedua belah pihak untuk memahami duduk perkara dan menghindari kesalahpahaman. Di sini, pihak sekolah dapat menjelaskan langkah-langkah disiplin yang diambil dan alasan di balik tindakan tersebut.

  3. Membantu Membedakan antara Tindakan Mendidik dan Kekerasan
    Penegak hukum perlu menekankan kepada orang tua bahwa ada perbedaan antara tindakan mendidik dan tindakan yang termasuk kekerasan. Penjelasan tentang batasan tindakan mendisiplinkan yang sesuai dengan hukum dapat membantu orang tua memahami situasi secara lebih objektif. Dengan demikian, orang tua dapat lebih bijak dalam menilai tindakan guru sebelum mengajukan laporan.

  4. Menyarankan Orang Tua untuk Berkomunikasi Aktif dengan Sekolah
    Penegak hukum dapat menyarankan kepada orang tua untuk lebih aktif berkomunikasi dengan pihak sekolah mengenai perkembangan dan disiplin anak mereka. Komunikasi ini akan membangun hubungan saling percaya antara orang tua dan guru, sehingga tindakan guru untuk mendisiplinkan siswa tidak dianggap sebagai sesuatu yang merugikan anak.

  5. Mengajak Orang Tua Berperan dalam Pendidikan Karakter Anak
    Penegak hukum dapat mengingatkan bahwa pendidikan karakter anak bukan hanya tanggung jawab sekolah tetapi juga orang tua. Kerja sama antara orang tua dan guru akan memberikan dampak yang lebih positif bagi perkembangan karakter anak. Penegak hukum dapat menyarankan agar orang tua mendukung tindakan yang dilakukan guru, selama tindakan tersebut memang dilakukan dengan tujuan pendidikan.

  6. Membuat Panduan Pelaporan yang Jelas terkait Kasus Kekerasan di Sekolah
    Penegak hukum dapat bekerja sama dengan pihak sekolah dan Dinas Pendidikan untuk membuat panduan pelaporan yang jelas terkait kekerasan di sekolah. Panduan ini dapat mencakup batasan tindakan yang dianggap melanggar aturan dan tata cara pelaporan yang benar. Dengan adanya panduan ini, orang tua dapat lebih bijak dalam menilai situasi dan memahami langkah-langkah yang perlu ditempuh.

  7. Mengedukasi Orang Tua tentang Pentingnya Disiplin dalam Pendidikan Anak
    Penegak hukum juga dapat memberikan edukasi mengenai pentingnya disiplin dalam membentuk karakter anak. Edukasi ini dapat menyadarkan orang tua bahwa tindakan mendidik oleh guru, yang sesuai dengan aturan, justru mendukung perkembangan kepribadian anak yang positif. Pendekatan ini bisa dilakukan dengan mengadakan sosialisasi atau bekerja sama dengan sekolah untuk mengadakan seminar parenting.

Dengan penerapan saran-saran di atas, diharapkan penegak hukum dapat berperan dalam menciptakan pemahaman yang lebih baik antara orang tua dan guru. Hal ini penting untuk mencegah laporan-laporan yang berlebihan dan mendorong terciptanya hubungan yang harmonis di lingkungan sekolah demi kemajuan pendidikan anak-anak.

Hal-hal Detail yang Perlu Diperhatikan

Untuk memastikan bahwa yurisprudensi ini berjalan dengan baik, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan:

  1. Pelatihan bagi Guru: Diperlukan pelatihan berkala bagi guru tentang cara-cara disiplin yang efektif tanpa melanggar hak siswa. Hal ini juga mendukung penerapan metode pendisiplinan yang lebih mendidik daripada menghukum.

  2. Pedoman Batasan Disiplin: Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu mengeluarkan pedoman yang lebih spesifik terkait tindakan disiplin yang dibolehkan dan tidak dibolehkan.

  3. Sosialisasi ke Orang Tua dan Masyarakat: Masyarakat, terutama orang tua siswa, perlu memahami bahwa tindakan disiplin oleh guru bukanlah bentuk kekerasan, tetapi bagian dari pendidikan karakter. Edukasi tentang yurisprudensi ini dapat membantu mengurangi kesalahpahaman dan potensi tuntutan hukum.

Kesimpulan

Yurisprudensi MA yang menyatakan guru tidak bisa dipidana karena mendisiplinkan siswa dalam koridor pendidikan adalah langkah yang sangat penting bagi pendidikan di Indonesia. Keputusan ini memberikan perlindungan hukum bagi guru sekaligus mendorong profesionalisme dalam pendisiplinan siswa. Namun, untuk menjaga keseimbangan, penerapan yurisprudensi ini harus diiringi dengan batasan yang jelas, pelatihan bagi guru, dan sosialisasi ke masyarakat. Dengan begitu, keputusan ini dapat berfungsi optimal dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, kondusif, dan berkarakter.

Secara keseluruhan, yurisprudensi MA ini tidak hanya berdampak positif bagi guru, tetapi juga memberikan keuntungan signifikan bagi perkembangan karakter dan kepribadian siswa. Melalui penerapan disiplin yang mendidik, siswa dapat tumbuh menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab, menghargai aturan, dan siap menghadapi kehidupan dengan sikap positif.

Penanaman Nilai Kebangsaan di Era Globalisasi: Manfaat dan Tantangannya

Era globalisasi membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal budaya dan nilai-nilai kebangsaan. Di satu sisi, globalisasi memperluas wawasan dan meningkatkan akses terhadap informasi. Namun, di sisi lain, fenomena ini juga membawa tantangan dalam menjaga identitas nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Oleh karena itu, penanaman nilai kebangsaan menjadi hal yang penting dan relevan untuk dilakukan. Esai ini akan membahas manfaat penanaman nilai kebangsaan serta tantangan yang dihadapi dalam konteks globalisasi.



Manfaat Penanaman Nilai Kebangsaan

Penanaman nilai kebangsaan memiliki manfaat yang signifikan bagi masyarakat dan bangsa. Pertama, hal ini dapat memperkuat rasa cinta tanah air dan semangat nasionalisme. Nilai kebangsaan seperti Pancasila, semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan semangat persatuan dapat mendorong masyarakat untuk lebih mencintai negaranya serta menghargai perbedaan yang ada di tengah-tengah keberagaman budaya. National Education Association menyebutkan bahwa pendidikan nilai-nilai kebangsaan dapat meningkatkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab terhadap bangsa, yang pada akhirnya akan memperkuat kohesi sosial dan solidaritas antarwarga negara (Lickona, 1991).

Kedua, penanaman nilai kebangsaan dapat mencegah degradasi moral dan krisis identitas yang sering muncul akibat arus budaya asing yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai lokal. Ketika masyarakat memahami nilai-nilai dasar yang menjadi karakter bangsa, seperti toleransi, gotong royong, dan keadilan, mereka akan lebih mampu menyaring pengaruh luar yang masuk. Dengan demikian, penanaman nilai kebangsaan berfungsi sebagai benteng pertahanan terhadap budaya global yang bisa saja mengikis identitas bangsa.

Ketiga, nilai kebangsaan juga berperan dalam membentuk karakter dan sikap warga negara yang berintegritas. Melalui pendidikan karakter yang berlandaskan nilai kebangsaan, generasi muda dapat menjadi warga negara yang lebih peduli terhadap masalah sosial dan politik, sehingga turut serta dalam menjaga demokrasi dan kestabilan negara. Penelitian oleh Tan & Cheung (2009) menunjukkan bahwa pendidikan kewarganegaraan yang menanamkan nilai-nilai nasional dapat meningkatkan partisipasi politik dan sikap aktif dalam masyarakat.

Tantangan Penanaman Nilai Kebangsaan

Meskipun memiliki banyak manfaat, penanaman nilai kebangsaan di era globalisasi juga menghadapi berbagai tantangan. Pertama, arus informasi dan budaya dari luar yang sangat deras melalui internet dan media sosial dapat menyebabkan pergeseran nilai-nilai tradisional. Anak muda, yang cenderung menjadi konsumen utama konten digital, lebih mudah terpengaruh oleh budaya pop dan gaya hidup global dibandingkan dengan nilai-nilai lokal. Misalnya, penelitian oleh Pew Research Center menunjukkan bahwa generasi muda di berbagai negara cenderung mengadopsi nilai-nilai kebebasan individu yang lebih tinggi, yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai kebersamaan dan kolektivitas yang dijunjung tinggi dalam budaya Timur (Pew Research Center, 2014).

Kedua, terdapat kesenjangan antara penanaman nilai kebangsaan di lingkungan pendidikan dan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari. Seringkali, nilai-nilai kebangsaan hanya diajarkan secara teoritis di sekolah tanpa adanya penerapan yang konkret dalam kehidupan bermasyarakat. Akibatnya, nilai-nilai tersebut tidak tertanam kuat dalam diri individu dan cenderung dilupakan begitu mereka beranjak dewasa. Penelitian oleh Ki Hajar Dewantara Institute (2017) menunjukkan bahwa pendidikan nilai kebangsaan harus disertai dengan praktik langsung, seperti kegiatan ekstrakurikuler yang mendukung pengembangan karakter.

Ketiga, pluralitas masyarakat Indonesia sendiri menjadi tantangan dalam menyatukan pemahaman mengenai nilai-nilai kebangsaan. Meskipun semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" sudah menjadi fondasi bagi keberagaman, pada kenyataannya, perbedaan etnis, agama, dan budaya terkadang memicu konflik yang dapat mengancam persatuan bangsa. Menurut laporan dari Setara Institute (2019), potensi konflik sosial seringkali muncul dari ketidakpahaman terhadap perbedaan, sehingga pendidikan yang inklusif dan menanamkan nilai kebangsaan menjadi sangat penting.

Strategi untuk Menghadapi Tantangan

Untuk mengatasi tantangan dalam penanaman nilai kebangsaan, diperlukan strategi yang komprehensif dan adaptif. Salah satunya adalah dengan mengintegrasikan pendidikan nilai kebangsaan ke dalam kurikulum formal dan informal. Penggunaan metode pembelajaran yang interaktif dan relevan dengan situasi kontemporer dapat membuat proses penanaman nilai kebangsaan lebih efektif. Selain itu, pemanfaatan teknologi digital dan media sosial sebagai sarana edukasi juga dapat menjangkau lebih banyak kalangan, terutama generasi muda.

Selanjutnya, pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama dalam membangun lingkungan yang kondusif bagi pengembangan nilai kebangsaan, baik di sekolah, keluarga, maupun masyarakat luas. Partisipasi aktif dari semua elemen bangsa, termasuk lembaga pendidikan, organisasi pemuda, dan tokoh masyarakat, sangat diperlukan untuk menciptakan kesadaran kolektif tentang pentingnya nilai kebangsaan.

Kesimpulan

Penanaman nilai kebangsaan di era globalisasi membawa manfaat signifikan dalam memperkuat identitas nasional, mencegah degradasi moral, dan membentuk karakter bangsa yang berintegritas. Namun, tantangan seperti derasnya arus budaya asing, kesenjangan antara teori dan praktik, serta keberagaman masyarakat menjadi hambatan yang harus diatasi. Dengan strategi yang tepat, nilai-nilai kebangsaan dapat terus dipertahankan dan dikembangkan sebagai fondasi yang kokoh bagi kelangsungan negara.

Rujukan:

  • Lickona, T. (1991). Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
  • Pew Research Center. (2014). Global Attitudes Survey.
  • Setara Institute. (2019). Laporan Tahunan tentang Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia.
  • Tan, C., & Cheung, C. (2009). “Education for Citizenship in the Global Era: The Case of Singapore.” Journal of Education Policy.

Esai ini berupaya menampilkan pandangan yang seimbang tentang pentingnya penanaman nilai kebangsaan dan memberikan saran tentang bagaimana kita dapat menjawab tantangan yang dihadapi dalam era globalisasi.

Hukuman Fisik di Sekolah: Efektif atau Merusak?

Hukuman fisik bagi murid masih menjadi topik yang kontroversial di dunia pendidikan. Beberapa kalangan percaya bahwa hukuman fisik dapat menjadi alat yang efektif untuk mendisiplinkan siswa, sementara yang lain menganggapnya sebagai tindakan kekerasan yang merusak psikologis dan hak asasi anak. Dalam esai ini, kita akan menelaah dampak positif dan negatif dari hukuman fisik, menyajikan kritik yang berkaitan dengan praktik ini, serta menawarkan solusi yang lebih manusiawi dan efektif dalam mendisiplinkan siswa.



Dampak Positif dan Negatif Hukuman Fisik

Pendukung hukuman fisik berargumen bahwa hukuman ini dapat menanamkan rasa disiplin dan tanggung jawab pada siswa. Hukuman fisik seperti mencubit atau memukul telapak tangan dianggap dapat memberikan efek jera yang langsung, sehingga murid tidak mengulangi kesalahan yang sama. Secara historis, hukuman fisik telah digunakan sebagai metode disiplin tradisional di berbagai budaya, termasuk Indonesia.

Namun, berbagai penelitian menunjukkan dampak negatif yang signifikan dari hukuman fisik terhadap perkembangan anak. Menurut The End of Corporal Punishment: The Impact of Recent Legal Reforms oleh Joan E. Durrant (2005), hukuman fisik dapat menyebabkan anak mengalami trauma psikologis, rendah diri, dan bahkan peningkatan perilaku agresif. Hal ini bertolak belakang dengan tujuan utama pendidikan, yaitu membentuk individu yang berakhlak baik dan mampu mengelola emosi dengan bijak.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Elizabeth Gershoff dalam bukunya Corporal Punishment in Schools and Its Effect on Academic Success (2002), menunjukkan bahwa hukuman fisik tidak terbukti efektif dalam jangka panjang. Murid yang menerima hukuman fisik cenderung memiliki prestasi akademis yang lebih rendah dan lebih banyak masalah perilaku dibandingkan mereka yang didisiplinkan dengan metode non-kekerasan.

Kritik terhadap Praktik Hukuman Fisik

Mengkritik praktik hukuman fisik bukan berarti tidak menghargai upaya para pendidik dalam menegakkan disiplin. Namun, pendekatan ini sering kali mencerminkan ketidakmampuan dalam menangani masalah perilaku siswa secara lebih konstruktif. Hukuman fisik cenderung menjadi solusi instan yang tidak mengatasi akar masalah, seperti kondisi sosial, keluarga, atau psikologis yang mempengaruhi perilaku anak.

Penggunaan hukuman fisik juga dapat menciptakan budaya ketakutan di sekolah. Siswa mungkin takut mengungkapkan pendapat, bertanya, atau melakukan kesalahan, sehingga menghambat proses belajar. Selain itu, praktik ini dapat menormalisasi kekerasan dan menyiratkan bahwa masalah dapat diselesaikan dengan kekerasan, bukannya dengan dialog atau pemahaman.

Solusi Alternatif untuk Pendekatan Disiplin

Sebagai solusi, disiplin positif dapat menjadi pendekatan yang lebih efektif dan manusiawi. Disiplin positif berfokus pada penguatan perilaku baik dan pemberian konsekuensi logis daripada hukuman fisik. Misalnya, alih-alih memberikan hukuman fisik, guru dapat mengajak siswa yang melanggar aturan untuk mengikuti sesi pembinaan yang berfokus pada refleksi perilaku dan tanggung jawab.

Pendekatan lain yang bisa diterapkan adalah restorative justice, di mana siswa yang bermasalah diajak untuk memahami dampak negatif dari perilaku mereka terhadap orang lain dan berusaha memperbaiki kesalahan tersebut. Hal ini akan membantu siswa belajar dari kesalahan tanpa merasakan tekanan yang berlebihan atau ketakutan.

Selain itu, perlu adanya pelatihan yang lebih baik bagi guru mengenai manajemen kelas dan teknik komunikasi yang efektif. Buku Classroom Management That Works oleh Robert J. Marzano (2003) menggarisbawahi pentingnya keterampilan guru dalam menangani perilaku siswa secara konstruktif dan tidak reaktif. Dengan begitu, guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih kondusif dan ramah anak.

Kesimpulan

Kontroversi mengenai hukuman fisik bagi murid tidak hanya menyangkut efektivitasnya, tetapi juga nilai-nilai yang ingin kita tanamkan dalam dunia pendidikan. Meskipun ada argumen yang mendukung penggunaan hukuman fisik, penelitian menunjukkan bahwa dampaknya lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Pendidikan seharusnya mengedepankan pendekatan yang mempromosikan rasa hormat, pemahaman, dan kedewasaan emosional. Dengan menerapkan disiplin positif dan restorative justice, sekolah dapat menciptakan suasana belajar yang lebih aman dan mendukung perkembangan anak secara holistik.

Untuk mendalami lebih jauh, rujukan yang dapat digunakan adalah:

  1. Durrant, Joan E. The End of Corporal Punishment: The Impact of Recent Legal Reforms. Oxford University Press, 2005.
  2. Gershoff, Elizabeth. Corporal Punishment in Schools and Its Effect on Academic Success. American Psychological Association, 2002.
  3. Marzano, Robert J. Classroom Management That Works: Research-Based Strategies for Every Teacher. ASCD, 2003.

Dengan pendekatan yang lebih kritis dan solusi yang tepat, kita dapat membentuk generasi yang tidak hanya pintar secara akademis tetapi juga matang dalam mengelola emosi dan hubungan sosial.

Menurunnya Adab Siswa terhadap Orang Tua: Mitos atau Fakta?

Benarkah Siswa Sekarang Ini Menurun Akhlak dan Adabnya terhadap Orang Tua?

Perubahan zaman selalu membawa dampak terhadap kehidupan manusia, termasuk dalam hal pendidikan dan akhlak siswa. Di era modern ini, banyak pihak berpendapat bahwa akhlak dan adab siswa terhadap orang tua mengalami penurunan. Pandangan ini didukung oleh fenomena-fenomena yang sering terlihat dalam keseharian, seperti sikap tidak hormat, penggunaan bahasa kasar, dan kurangnya sopan santun terhadap orang tua. Namun, apakah benar semua siswa di zaman sekarang mengalami penurunan akhlak dan adab, atau ada faktor lain yang perlu diperhatikan?



Perubahan Nilai dan Norma Sosial

Salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi tentang penurunan akhlak adalah perubahan nilai dan norma sosial. Teknologi dan arus globalisasi telah membuka akses luas terhadap berbagai informasi dan budaya asing. Hal ini membawa pengaruh terhadap gaya hidup dan cara berpikir siswa, termasuk dalam memandang hubungan dengan orang tua. Beberapa nilai tradisional seperti patuh dan hormat terhadap orang tua mungkin tidak lagi dianggap relevan oleh sebagian siswa, yang lebih mengedepankan kebebasan berekspresi dan kesetaraan.

Namun, penting untuk diingat bahwa perubahan norma sosial bukan berarti sepenuhnya menghilangkan nilai-nilai adab dan akhlak. Ada banyak siswa yang tetap memegang teguh prinsip-prinsip moral dan menghormati orang tua, meskipun dengan cara yang mungkin berbeda dari generasi sebelumnya. Oleh karena itu, pandangan bahwa semua siswa mengalami penurunan akhlak perlu ditinjau kembali dengan lebih objektif.

Peran Orang Tua dan Lingkungan Pendidikan

Penurunan akhlak siswa juga dapat dikaitkan dengan perubahan peran orang tua dan lingkungan pendidikan. Di era digital, banyak orang tua yang lebih sibuk dengan pekerjaan atau perangkat teknologi mereka, sehingga interaksi langsung dengan anak menjadi berkurang. Padahal, peran orang tua dalam membimbing dan memberikan teladan sangat penting dalam membentuk karakter anak. Jika perhatian dan arahan dari orang tua kurang, siswa bisa saja kurang memahami pentingnya adab dan akhlak yang baik.

Di sisi lain, lingkungan pendidikan juga memegang peranan penting. Kurikulum yang lebih fokus pada pencapaian akademik dan prestasi cenderung mengesampingkan pendidikan karakter. Selain itu, guru sebagai pendidik juga mengalami tantangan dalam menanamkan nilai-nilai moral di tengah beragam karakter siswa dan pengaruh teknologi yang begitu kuat. Kurangnya pendidikan karakter di sekolah dapat berkontribusi pada penurunan adab dan akhlak siswa.

Pengaruh Teknologi dan Media Sosial

Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi dan media sosial memiliki pengaruh besar terhadap perilaku siswa. Kemudahan akses informasi dan interaksi di dunia maya dapat membentuk cara berkomunikasi dan berperilaku anak-anak muda. Namun, seringkali media sosial juga memunculkan konten negatif yang bisa memengaruhi siswa untuk bersikap kurang sopan atau kasar.

Selain itu, kebiasaan siswa yang lebih banyak menghabiskan waktu di dunia maya bisa mengurangi interaksi langsung dengan orang tua. Hal ini menyebabkan hubungan menjadi lebih renggang, dan komunikasi yang seharusnya dibangun dengan adab yang baik menjadi kurang diperhatikan.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, anggapan bahwa akhlak dan adab siswa menurun memang memiliki dasar yang bisa dipahami, namun tidak dapat digeneralisasi untuk semua siswa. Ada banyak faktor yang memengaruhi, mulai dari perubahan nilai sosial, peran orang tua dan lingkungan pendidikan, hingga pengaruh teknologi. Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu ada kerjasama antara orang tua, guru, dan masyarakat untuk kembali menguatkan pendidikan karakter dan nilai-nilai moral yang baik. Dengan demikian, siswa dapat tumbuh menjadi generasi yang berakhlak mulia dan menghargai orang tua.

Sinergi Guru dengan Ideologi Pancasila dan Penerapannya di Sekolah


Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, tidak hanya menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga harus diwujudkan dalam lingkungan pendidikan. Guru, sebagai salah satu pilar utama dalam pembentukan karakter siswa, memiliki peran penting dalam menginternalisasi nilai-nilai Pancasila di sekolah. Sinergi antara guru dan ideologi Pancasila dapat membentuk generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki budi pekerti yang luhur, nasionalisme yang tinggi, dan rasa cinta tanah air.

Pancasila sebagai Fondasi Pendidikan Karakter

Pancasila mengandung lima sila yang menjadi landasan etika dan moral bangsa Indonesia. Setiap sila memiliki nilai-nilai yang harus ditanamkan sejak dini kepada siswa. Sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa," menekankan pentingnya penghayatan nilai-nilai religius dalam kehidupan. Di sekolah, guru dapat menanamkan kesadaran beragama dan mengajarkan pentingnya toleransi terhadap pemeluk agama lain. Hal ini sejalan dengan sila kedua, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab," yang mengajarkan kepada siswa untuk saling menghargai, menjunjung tinggi keadilan, dan memperlakukan sesama dengan penuh hormat.

Nilai-nilai yang terkandung dalam sila ketiga, "Persatuan Indonesia," menggarisbawahi pentingnya persatuan di tengah kemajemukan bangsa. Dalam konteks sekolah, guru dapat berperan sebagai mediator dalam meredam konflik dan mengajarkan toleransi antar siswa yang berasal dari latar belakang suku, agama, atau budaya yang berbeda. Sementara itu, sila keempat, "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan," mendorong penerapan demokrasi di kelas, di mana siswa diajak untuk menyuarakan pendapat dan menghargai proses pengambilan keputusan secara musyawarah.

Terakhir, sila kelima, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia," mengajak guru untuk memberikan contoh bagaimana memperjuangkan hak dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Guru tidak hanya dituntut untuk adil dalam memberikan penilaian akademis, tetapi juga dalam memperlakukan siswa dengan setara tanpa memandang latar belakang ekonomi atau sosial.

Peran Guru dalam Menginternalisasi Nilai-Nilai Pancasila

Guru memiliki peran sentral dalam menginternalisasi nilai-nilai Pancasila kepada siswa. Sebagai teladan di sekolah, perilaku dan sikap guru mencerminkan bagaimana nilai-nilai tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika guru menunjukkan sikap toleran, adil, dan demokratis, siswa akan lebih mudah memahami dan meniru sikap tersebut.

Misalnya, dalam pembelajaran sehari-hari, guru dapat memasukkan nilai-nilai Pancasila ke dalam materi pelajaran. Pelajaran sejarah dapat digunakan untuk membahas peristiwa-peristiwa penting yang menunjukkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Begitu pula dengan mata pelajaran PPKn, yang dapat menjadi media untuk membahas secara mendalam nilai-nilai Pancasila dan penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Guru juga dapat menggunakan pendekatan kontekstual dalam mengajarkan Pancasila. Misalnya, melalui kegiatan diskusi atau debat, siswa dapat diajak untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang relevan dengan kehidupan mereka. Dengan cara ini, siswa tidak hanya belajar teori, tetapi juga mempraktikkan nilai-nilai Pancasila dalam situasi nyata.

Tantangan dalam Penerapan Pancasila di Sekolah

Meskipun sinergi guru dan Pancasila dapat memberikan dampak positif, penerapan nilai-nilai Pancasila di sekolah tidak selalu mudah. Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana menginternalisasi nilai-nilai tersebut secara konsisten di tengah derasnya arus globalisasi dan pengaruh budaya luar. Siswa sering kali terpapar oleh budaya populer yang tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila, seperti materialisme, individualisme, dan hedonisme. Dalam kondisi ini, peran guru sebagai "penjaga" moralitas menjadi semakin penting.

Selain itu, keberagaman siswa yang memiliki latar belakang berbeda juga dapat menjadi tantangan dalam penerapan nilai-nilai Pancasila. Guru perlu memiliki keterampilan untuk mengelola perbedaan ini agar tidak menjadi sumber konflik, melainkan menjadi kekuatan untuk memperkaya pengalaman belajar siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan lingkungan sekolah yang inklusif dan mengedepankan prinsip keadilan.

Tantangan lainnya adalah sikap apatis siswa terhadap pelajaran Pancasila dan kewarganegaraan, yang terkadang dianggap sebagai mata pelajaran yang membosankan atau tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, guru dituntut untuk kreatif dalam menyampaikan materi agar lebih menarik dan relevan bagi siswa. Kegiatan belajar mengajar dapat divariasikan dengan metode yang lebih interaktif seperti permainan peran, simulasi, atau proyek-proyek sosial.

Strategi untuk Menguatkan Sinergi Guru dengan Pancasila di Sekolah

Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, diperlukan strategi yang efektif untuk memperkuat sinergi antara guru dan nilai-nilai Pancasila. Pertama, sekolah dapat menyelenggarakan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas guru dalam menginternalisasi nilai-nilai Pancasila. Pelatihan ini bisa mencakup metode pengajaran yang inovatif, penggunaan teknologi dalam pembelajaran Pancasila, serta pengelolaan kelas yang berbasis nilai-nilai kebangsaan.

Kedua, penguatan kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan masyarakat dalam menerapkan nilai-nilai Pancasila juga sangat penting. Guru dapat melibatkan orang tua dalam kegiatan-kegiatan sekolah yang menanamkan nilai-nilai Pancasila, seperti kegiatan gotong royong, bakti sosial, atau peringatan hari-hari besar nasional. Dengan melibatkan komunitas yang lebih luas, proses pengajaran nilai-nilai Pancasila akan lebih efektif dan berdampak luas.

Ketiga, perlu adanya pendekatan yang lebih terintegrasi dalam kurikulum sekolah. Pancasila tidak hanya diajarkan dalam pelajaran PPKn, tetapi juga diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran. Guru-guru mata pelajaran lain dapat menekankan nilai-nilai Pancasila sesuai dengan konteks pelajaran yang mereka ajarkan. Misalnya, dalam pelajaran sains, guru dapat menanamkan nilai tanggung jawab dan kepedulian terhadap lingkungan sebagai bagian dari pengamalan Pancasila.

Kesimpulan

Sinergi antara guru dan ideologi Pancasila di sekolah merupakan kunci untuk membentuk generasi yang memiliki karakter kebangsaan yang kuat. Guru tidak hanya bertindak sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pendidik yang menanamkan nilai-nilai moral dan etika. Meskipun terdapat berbagai tantangan dalam penerapan nilai-nilai Pancasila, guru dapat mengatasinya melalui kreativitas dalam pengajaran, kolaborasi dengan orang tua dan masyarakat, serta penerapan kurikulum yang terintegrasi.

Melalui usaha yang berkesinambungan, penerapan Pancasila di sekolah akan mampu melahirkan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki rasa nasionalisme, kemanusiaan, dan keadilan yang kuat. Dengan demikian, sinergi antara guru dan Pancasila tidak hanya memperkuat karakter bangsa, tetapi juga menjaga keutuhan dan keberagaman Indonesia di tengah tantangan zaman.

dampak positif dan negatif dari warnet




WARNET adalah kependekan dari Warung Internet yaitu salah satu jenis wirausaha yang menyewakan jasa internet kepada semua kalangan dari yang anak kecil hingga dewasa atau untuk masyarakat umum.

Penggunaan Warnet

Warnet banyak dimanfaatkan oleh mahasiswa, pelajar, profesional, masyarakat umum dan wisatawan asing.
Warnet digunakan untuk bermacam-macam tujuan, bagi pelajar dan mahasiswa warnet banyak digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat dari yang positif sampai yang negative,pertama saya akan mejelaskan penggunaan warnet yang memberikan dampak positif:

1. Orang Dewasa.
Sumber Informasi
Sumber Hiburan
Peluang Kerja
Peluang Bisnis
Informasi yang luas

2. Anak-Anak
Referensi belajar
Arena bermain yang baru

3. Pelajar & Mahasiswa
Refensi belajar
Pengembangan diri
Lebih mengenal informasi
Tempat untuk cari kerja
Membangun Relasi dari sosial network
Media penambah wawasan

4. Guru
Mencari bahan studi yang interaktif
Mengetahui perkembangan pendidikan
Materi Pembelajaran yang ter-update

NEGATIF
dampak negatif warnet bisa di cari solusinya seperti pengawasan OP yang baik, blok situs2 dewasa dn sejenis nya

Pengertian dan Unsur Terbentuknya Bangsa



Menurut Ernest Renan bangsa adalah  sekelompok manusia yang dipersatukan karena memiliki persamaan sejarah dan cita-cita yang sama, suatu bangsa juga terikat oleh tanah air yang sama. Hasrat bersatu yang didorong oleh persamaan sejarah dan cita-cita meningkatkan rakyat menjaadi bangsa.

Beberapa pendapat mengenai bangsa juga diungkapkan oleh ahli yang lain, seperti :
  1. 1)      Ernest Renan
  2. Bangsa terbentuk karena adanya keinginan untuk hidup bersama dengan perasaan setia kawan yang agung.
  3. 2)      Otto Bouer
  4. Bangsa timbul karena mempunyai persaman karakteristik, dan timbul karena adanya persaman nasib.
  5. 3)      R. Ratzel
  6. Bangsa terbentuk karena adanya hasrat bersatu. Hasrat itu timbul karena adanya rasa kesatuan antara manusia dan tempat tinggalnya.
  7. 4)      Hans Kohn
  8. Bangsa adalah buah dari hasil tenaga hidup manusia dalam sejarah atau karena adanya persamaan keturunan, wilayah, bahasa, adat istiadat, kesamaan apolitik, perasaan dan agama.
  9. 5)      Jacobsen dan Lipman
  10. Bangsa timbul karena adanya kesatuan budaya dan satu kesatuan politik.

Walaupun dari para ahli kenegaraan belum terdapat kesamaan pengertian bangsa. Namun faktor obyektif yang terpenting dari suatu bansga adalah adanya kehendak bersama yang lebih dikenal nasionalisme.

    Unsur-unsur Terbentuknya Bangsa

Dalam buku yang berjudul Nationality in History and Politics yang dikemukakan oleh ahli dari Jerman yaitu Friedrich Hertz bahwa  setiap bangsa memiliki 4   (empat) unsur inspirasi sebagai berikut :
  1. 1)      Keinginan untuk mencapai kesatuan nasional yang terdiri atas kesatuan sosial, ekonomi, politik, agama, kebudayaan, komunikasi dan solidaritas.
  2. 2)      Keinginan untuk mencapai kemerdekaan dan kebebasan nasional sepenuhnya yaitu bebas dari dominasi dan campur tangan bangsa asing terhadap urusan dalam negerinya.
  3. 3)      Keinginan dalam kemandirian, keunggulan, individualitas dan kebebasan.
  4. 4)      Keinginan yang menonjol diantara bangsa-bangsa dalam mengejar  kehormatan, pengaruh  dan prestise.

Unsur-unsur terbentuknya suatu bangsa ada berbagai macam, dimana unsur-unsur tersebut mencerminkan identitas nasional dari suatu bangsa, berbagai macam unsur-unsur terbentuknya bangsa adalah :
1)      Suku bangsa
Suku bangsa adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat askriptif (ada sejak lahir) yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin.
2)      Agama
Bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat agamis, agama-agama yang tumbuh dan berkembang di Indonesia adalah Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu.
3)      Kebudayaan
Kebudayaan adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang secara yang secara kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai rujukan atau pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.
Intinya kebudayaan merupakan patokan nilai-nilai estetika dan moral, baik yang tergolong sebagai ideal atau yang seharusnya (world view) maupun yang operasional dan aktual dalam kehidupan sehari-hari (ethos).
4)      Bahasa
Bahasa merupakan unsur pendukung identitas bangsa, bahasa dipahami sebagai sistem perlambang yang secara arbiter dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia dan digunakan sebagai sarana berinteraksi antar manusia.

Peran penting Orangtua terhadap keberhasilan pendidikan anak



Negara Finlandia di Eropa Utara sejak tahun 2000 selalu diunggulkan sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Di balik sistem pendidikan dan kurikulum yang sangat mendukung tumbuh kembang anak sehingga segala potensinya terasah dan terungkap, ternyata peranan orang tua juga sangat kuat. Di negara yang kerap menjadi sasaran studi banding beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia itu, kemitraan orang tua dan guru sudah terbentuk secara konsep dan aksi, bahkan bisa dikatakan, terjalinnya persahabatan antara guru dan orang tua dalam hal mendidik anak.

Salah satu bentuk konkritnya, adalah paradigma atau pemahaman orang tua tentang guru di Finlandia yang perlu dipikirkan orang tua di Indonesia. Dikutip dari laman resmi Sahabat Keluarga Kemendikbud berikut 6 pemhaman orangtua Finlandia terhadap guru dan sekolah dalam bermitra: 

1. Menghormati guru 

Orangtua di Finlandia sangat menghormati guru dan sekolah. Mereka menempatkan guru sebagai "orangtua kedua" dan sekolah merupakan "rumah kedua". 

2. Memahami profesi 

Orangtua di Finlandia memahami bahwa pekerjaan mengajar adalah pekerjaan yang sangat kompleks dan penuh dinamika sehingga perlu didukung dalam semua aspek. 

3. Mendukung bukan menyalahkan 

Olehkarena itu apabila guru mengalami kesulitan mengajar kepada seorang siswa, orangtua akan membantu semaksimal mungkin dan bukan menyalahkan gurunya. 

4. "Pahlawan" kesuksesan 

Orangtua menganggap guru adalah pahlawan kesuksesan bagi anak-anak mereka. Yang sering terlihat di rumah-rumah, banyak siswa menghias dan memajang foto guru di kamarnya, bahkan dengan tambahan kalimat "You are my inspiration", tidak ada istilah "guru killer" 

5. Pemahaman awal yang baik 

ada awal anak masuk sekolah guru akan menjelaskan kepada orangtua dan anak bahwa sekolah bukan tempat menyeramkan yang menyebabkan tekanan batin, dan ketegangan. Dengan seluruh daya dan upaya, para guru berusaha memahami kondisi intelektual dan emosi siswa bahkan sampai ke hal-hal yang kecil; 

6. Kritik dengan santun 

Orangtua di Finlandia menyampaikan kritik kepada sekolah dengan cara yang santun. Mereka memahami bahwa pekerjaan mengajar bukanlah pekerjaan yang ringan. Guru senang menerima kritik sebab menjadi saran yang sangat membantu dalam menyelesaikan permasalahan belajar anak-anak.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Orangtua Turut Jadi Kunci Keberhasilan Pendidikan Finlandia ", https://edukasi.kompas.com/read/2019/03/20/20103471/orangtua-turut-jadi-kunci-keberhasilan-pendidikan-finlandia.
Penulis : Yohanes Enggar Harususilo
Editor : Yohanes Enggar Harususilo

Kurikulum Unggulan Hadapi Industri 4.0



Persiapan dimulai dengan melakukan revitalisasi kurikulum dan melakukan kemitraan dengan berbagai perusahaan. Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Jawa Barat, Dewi Sartika mengatakan, kurikulum yang ada kini akan disusun kembali dan disesuaikan dengan revolusi industri 4.0. “Kemarin, saya menghadiri rapat di pusat, rapatnya tentang bagaimana menyusun kembali, merevitalisasi mengenai kurikulum, sehingga dapat mengantisipasi revolusi industri 4.0. Selain itu, kita diketemukan oleh mitra-mitra yang berkaitan dengan digitalisasi,” ujar Kadisdik Jabar dilansir dari laman resmi Dinas Pendidikan (Disdik) Jabar. Kemitraaan dilakukan berkaitan dengan digitalisasi sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini. Kadisdik mengatakan, salah satu contoh kemitraan adalah dengan Amazon.

Pihak kemitraan adalah pihak yang melakukan perencanaan dan pengarahan tentang digitalisasi. Pelatihan dan pendampingan dilakukan secara gratis untuk guru. “Jadi kemarin ada MOU. Sudah ditetapkan di Jawa Barat sendiri ada beberapa sekolah yang akan diberi pembinaan dan pendampingan. Ada juga perusahaan swasta, hotel, yang sudah tersebar di Indonesia, dia juga akan mendapingi SMK-SMK terkait dengan bagaimana meningkatkan bidang pariwisata," jelas Dewi Sartika. Ia menambahkan, "Jadi ada kemitraan. Misalnya perusahaan di Indonesia itu, memiliki 20 hotel di Jawa Barat. Jadi hotel itu harus menggandeng SMK-SMK di sekitarnya. Minimal empat hingga 5 sekolah.” Selain itu, Kadisdik Jabar mengatakan, yang terpenting adalah bagaimana menyiapkan sumber daya manusia yang tidak hanya pintar akan tetapi berkarakter.

“Jadi, bagaimana sebetulnya menyiapkan sumber daya manusia ke depan, agar tadi kita dipersiapkan revolusi industri 4.0. Ini pastinya akan berdampak kepada emotional quotient (kecerdasan emosional) anak-anak," ujarnya. Bagaimana juga mereka memiliki anak-anak yang berkarakter artinya selain mereka secara teknologi dan kecerdasan baik, akan tetapi karakter mereka dari sisi budaya, dari sisi menjaga lingkungan, dari agama, itu menjadi penting,” tutup Kadisdik Jabar.


Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemerintah Siapkan Kurikulum Unggulan Hadapi Industri 4.0", https://edukasi.kompas.com/read/2019/01/11/21273181/pemerintah-siapkan-kurikulum-unggulan-hadapi-industri-40.
Penulis : Yohanes Enggar Harususilo
Editor : Yohanes Enggar Harususilo